Memaafkan bagi kebanyakan orang menjadi pekerjaan paling sulit dilakukan. Hal itu terjadi karena, rasa sakit dan kehilangan yang dialami tidak dapat digantikan oleh pernyataan maaf ataupun diberi bentuk tanggung jawab berupa materi yang diberikan orang yang berbuat salah kepada kita.
Namun, terus menerus menyimpan api kemarahan, membuat tubuh rentan mengalami gangguan kesehatan. Sudah tahu akibatnya, apakah akan terus mengelola sakit hati itu?
Kastini S. Kaspan , seorang Forgiveness Trainer & Well Being Coach mengatakan dalam kehidupan normal, merasakan perselisihan adalah hal yang tidak dapat dihindari.
Bahkan perselisihan tersebut tidak jarang menimbulkan rasa sakit di hati terhadap sikap dari pasangan, anak sendiri , keluarga atau sahabat.
"Kata-katanya susah sekali dilupakan, makanya  belum bisa memaafkan. Kalau diingat, rasanya masih sesak. Biasanya alasannya seperti itu ya. Ada anak yang sampai sekarang masih menyimpan luka di hati karena pola asuh di masa kecil. Sakit hati dengan teman-teman, tetangga atau bahkan kesal pada diri sendiri. Saya merasa kecewa , marah, ketika anak saya nggak menghargai,  saya merasa gagal sebagai orang tua. Merasa bahwa pola asuh yang diterapkannya salah," ungkap Kastini S. Kaspan pada acara sharing session 'Pemaafan Untuk Kebahagiaan Diri dan Keluarga' yang digelar Gerakan #akuberdaya bekerjasama dengan Tempa Trainers Guild (TTG), baru-baru ini.
Gerakan #akuberdaya merupakan sebuah gerakan yang diinisiasi oleh desainer Nina Nugroho dengan target melejitkan keberdayaan  1 juta  perempuan dalam setahun ke depan.
Sejumlah  program telah dilakukan, salah satunya menggelar berbagai edukasi  melalui pemanfaatkan zoom online sharing session  yang dijadwalkan setiap hari Minggu, jam 10.00- 11.30 WIB.
Kastini menambahkan, pada beberapa orang kesulitan untuk memaafkan karena mereka sadar atas haknya untuk merasa marah dan merasa pihak yang bersalah tidak layak mendapatkan kebaikan.
Membuat keputusan untuk memaafkan berarti kita melepaskan kebencian, yang mana kita memiliki semua hak untuk memilikinya. Ketika mengambil keputusan untuk memaafkan, maka itu artinya kita melepaskan kebencian, sehingga muncul rasa damai.
"Kadang  kita seolah-olah telah memaafkan kesalahan mereka dengan tegar, namun acap kali masih memendam rasa sakit dan dendam," urai Kastini.
Mengutip  Martin Luther King Jr;  memaafkan bukan tentang menyetujui tindakan, melegalkan, menyangkal, atau mengabaikan sebuah tindakan.  Memaafkan bukan sekadar moving on, melupakan, atau menganggap tidak pernah terjadi sesuatu, menenangkan diri untuk kemudian membalas dendam, membenarkan atau melepaskan keadilan yang mungkin dibutuhkan, dan juga bukan soal upaya tawar-menawar atau negosiasi.
Tidak adanya rasa keluasan hati terhadap kondisi yang dihadapi ini, dan tidak bersedia memaafkan, membawa dampak besar terhadap banyak hal.
Dalam konteks rumah tangga, ketidakmampuan memaafkan ini dapat menimbulkan ketidak harmonisan dalam keluarga, dan tidak jarang berakhir pada perceraian.
Bahkan jika tidak terjadi perceraian, situasi tidak memaafkan ini dipastikan menyebabkan terjadinya disfungsi relasi, akibatnya hubungan pernikahan hanya sebatas status.
Apabila terus dibiarkan, dikatakan Kastini,  orang yang menyimpan rasa sakit hati berlama-lama mencengkram di dirinya justru  rentan mengalami gangguan kesehatan fisik dan emosi yang tergolong kronis.
"Kondisi ini juga  akan menganggu kesehatan jantung, ini sangat related  dengan hormone kortisol. Nanti berpengaruh ke sistem peredaran darah, sakit telinga," lanjutnya.
Belakangan pandemic Covid-19 juga ditenggarai sebagai penyebab angka perceraian meningkat tajam. Namun, menurut Kastini, jika pun  ada dampaknya hanya sekitar 2 persen. Selebihnya penyebab perceraian , tidak lain akibat perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus.
"Sayangnya itu berita hoax, selama pandemi ini hanya 2 persen yang berakibat pada perceraian. Selebihnya karena mandeg nya hubungan . Saran saya, kalau bisa diselesaikan dengan saling memaafkan, alangkah baiknya. Yang namanya perceraian tetap  meninggalkan luka luar  biasa pada diri  sendiri dan anak-anak," terang Kastini.
Berdasarkan penelitian dari Worthington (2007), orang yang banyak memaafkan secara siginikan akan meningkat kehidupannya, karena  dengan pemaafan terbukti;
1.Pemaafan  membantu  melepaskan diri dari rasa marah.
2.Pemaafan mengurangi depresi
3.Pemaafan meningkatkan harapan
4.Pemaafan menurunkan level kemarahan
5.Pemaafan meningkatkan hubungan spiritual
6.Pemaaafan meningkatkan kepercayaan diri
7.Pemaafan  membuat orang yang menyakiti kita melihat lebih jelas sikap tidak adil yang pernah mereka lakukan, sehingga mereka dapat berupaya berhenti atau tidak mengulanginya lagi.
"Jadi pemaafan sangat berhubungan  langsung dengan pencapaian tujuan positif. Sebaliknya
tidak memaafkan menimbulkan efek negatif pada kesehatan mental (afektif dan kognitif) serta menghambat pertumbuhan psikologis dan sosial. Ketika belum memaafkan, aktifitas otak seperti orang yang sedang marah, agresif, stress. Demikian juga dengan neurotransmitter dan sistem hormonal. Tekanan darah dan peregangan otot lebih tinggi. Akibat memendam amarah, prosentase peningkatan angka kematian mencapai 35 persen, kemungkinan menderita kanker mencapai 70 persen dan sakit jantung hingga 40 persen,"pungkas Kastini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H