Mohon tunggu...
Dewi Syafrie
Dewi Syafrie Mohon Tunggu... Lainnya - Tulisan yang baik akan mendatangkan kebaikan kepada penulisnya. Bismillah!

Menulis adalah sebuah kesenangan, sekaligus melatih raga dan mengolah rasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Gerakan #akuberdaya, Pakar Pemaafan Bantah Kasus Perceraian Meningkat Selama Covid-19

11 Februari 2022   11:56 Diperbarui: 11 Februari 2022   12:02 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kastini S. Kaspan , seorang Forgiveness Trainer & Well Being Coach (Dokpri)


Mengutip  Martin Luther King Jr;  memaafkan bukan tentang menyetujui tindakan, melegalkan, menyangkal, atau mengabaikan sebuah tindakan.  Memaafkan bukan sekadar moving on, melupakan, atau menganggap tidak pernah terjadi sesuatu, menenangkan diri untuk kemudian membalas dendam, membenarkan atau melepaskan keadilan yang mungkin dibutuhkan, dan juga bukan soal upaya tawar-menawar atau negosiasi.

Tidak adanya rasa keluasan hati terhadap kondisi yang dihadapi ini, dan tidak bersedia memaafkan, membawa dampak besar terhadap banyak hal.

Dalam konteks rumah tangga, ketidakmampuan memaafkan ini dapat menimbulkan ketidak harmonisan dalam keluarga, dan tidak jarang berakhir pada perceraian.

Bahkan jika tidak terjadi perceraian, situasi tidak memaafkan ini dipastikan menyebabkan terjadinya disfungsi relasi, akibatnya hubungan pernikahan hanya sebatas status.

Apabila terus dibiarkan, dikatakan Kastini,  orang yang menyimpan rasa sakit hati berlama-lama mencengkram di dirinya justru  rentan mengalami gangguan kesehatan fisik dan emosi yang tergolong kronis.

"Kondisi ini juga  akan menganggu kesehatan jantung, ini sangat related  dengan hormone kortisol. Nanti berpengaruh ke sistem peredaran darah, sakit telinga," lanjutnya.

Belakangan pandemic Covid-19 juga ditenggarai sebagai penyebab angka perceraian meningkat tajam. Namun, menurut Kastini, jika pun  ada dampaknya hanya sekitar 2 persen. Selebihnya penyebab perceraian , tidak lain akibat perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus.

"Sayangnya itu berita hoax, selama pandemi ini hanya 2 persen yang berakibat pada perceraian. Selebihnya karena mandeg nya hubungan . Saran saya, kalau bisa diselesaikan dengan saling memaafkan, alangkah baiknya. Yang namanya perceraian tetap  meninggalkan luka luar  biasa pada diri  sendiri dan anak-anak," terang Kastini.

Berdasarkan penelitian dari Worthington (2007), orang yang banyak memaafkan secara siginikan akan meningkat kehidupannya, karena  dengan pemaafan terbukti;

1.Pemaafan  membantu  melepaskan diri dari rasa marah.
2.Pemaafan mengurangi depresi
3.Pemaafan meningkatkan harapan
4.Pemaafan menurunkan level kemarahan
5.Pemaafan meningkatkan hubungan spiritual
6.Pemaaafan meningkatkan kepercayaan diri
7.Pemaafan  membuat orang yang menyakiti kita melihat lebih jelas sikap tidak adil yang pernah mereka lakukan, sehingga mereka dapat berupaya berhenti atau tidak mengulanginya lagi.

"Jadi pemaafan sangat berhubungan  langsung dengan pencapaian tujuan positif. Sebaliknya
tidak memaafkan menimbulkan efek negatif pada kesehatan mental (afektif dan kognitif) serta menghambat pertumbuhan psikologis dan sosial. Ketika belum memaafkan, aktifitas otak seperti orang yang sedang marah, agresif, stress. Demikian juga dengan neurotransmitter dan sistem hormonal. Tekanan darah dan peregangan otot lebih tinggi. Akibat memendam amarah, prosentase peningkatan angka kematian mencapai 35 persen, kemungkinan menderita kanker mencapai 70 persen dan sakit jantung hingga 40 persen,"pungkas Kastini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun