Bisa karena kesedihan ditinggal mati orang tua, anak atau pasangan. Bagi yang ditinggal pasangan, otomatis tugas yang tadinya dipikul berdua, akhirnya dipikul sendirian.
Begitu pun, kekecewaan yang dihasilkan oleh perceraian. Ironisnya, di masa pandemic ini data statistic menyebutkan angka perceraian mengalami peningkatan.
“Termasuk juga bisnis yang mendadak drop, padahal gedung baru dibayar sewanya. Tahu-tahu pandemi, kebijakan pemerintah mengharuskan semua orang di rumah saja, semua bekerja dari rumah. Akibatnya bisnis nggak berjalan, mau nggak mau pengusaha harus wait and see, semuanya memilih untuk saving money. Sementara yang bekerja juga nggak kalah shock. Banyak yang terkena PHK,”papar Nina Hermina, lagi.
Ujian atau masalah yang datang silih berganti mengakibatkan kelelahan emosional dalam berbagai bentuk. Hal ini menimbulkan jiwa yang tidak sehat, ditandai dengan muncul melalui 3 aspek secara kognitif, afektif, psikomotorik
Kognitif ditandai dengan perasaan rendah diri, konsentrasi menurun, daya ingat menurun, ragu-ragu , perasaan bersedih berlebihan, bunuh diri
Afektif: ditandai dengan sedih berkepanjangan, hilangnya minat, apatis, tidak bertenaga, tidak bersemangat,
Fisik: ditandai dengan psikomotor menurun, rasa lelah, gangguan tidur, gangguan nafsu makan.
“Kalau kita terus memendam emosi, berefek pada gangguan pencernaan, asam lambung naik, hipertensi, jantung. Coba benar-benar dicermati, apakah itu benar sakit fisik atau psikosomatik? Jadi betapa bahayanya memendam emosi negative. Bisnis nggak jalan, emosi terganggu. Impactnya ke sekitar kita,” urai Nina Hermina, panjang lebar.
Dalam pandangan psikologi, ada 3 tipe orang dalam mengelola emosinya:
1.Bottling= memendam, bermanifestasi ke penyakit
2.Exploding= menyakiti orang terdekat/sekitar
3.Denying =menolak/lari dari kenyataan
“Ketiga 3 hal ini sebaiknya dihindari, sebab kalau luka batin terus dipendam, dia akan bermanifestasi ke penyakit. Atau bisa juga menyakiti orang lain karena ketidak puasannya. Luka batin harus dituntaskan, jangan sampai terbawa ke generasi berikutnya. Luka batin juga tidak harus membuat kita lari dari kenyataan. Akui saja dia sebagai masa lalu, jangan denial,” imbuh Nina Hermina.