Tidak ada yang lebih menghancurkan hati seorang ibu selain kehilangan anak yang masih kecil, yang seharusnya berada di sisinya, tumbuh dan bermain dalam pelukan hangat. Ketika takdir menempuh jalan yang berbeda dan mengambil kehidupan seorang anak di bawah usia sepuluh tahun, luka yang menganga di hati seorang ibu bukan hanya sekedar kehilangan.Â
Itu adalah penghakiman yang terus menghantui, mengingatkan ibu setiap harinya bahwa dia gagal melindungi buah hatinya.
Tidak mudah menerima kenyataan bahwa anak yang begitu diharapkan bisa bermain di pangkuan suatu hari, tiba-tiba jatuh sakit dan tak pernah kembali. Setiap detik yang berlalu sejak kepergiannya adalah pergulatan batin yang tak kunjung selesai.Â
Ada rasa bersalah yang berakar begitu dalam, menggerogoti jiwa. "Aku seharusnya bisa mencegah ini," pikirnya, meskipun dia tahu, secara logis, tak ada yang bisa dilakukan. Namun, logika seringkali tak berarti dalam menghadapi kesedihan yang begitu mendalam.
Hari-hari berlalu, namun luka itu tak pernah sembuh. Yang terjadi hanyalah kepura-puraan; sebuah wajah yang tampak baik-baik saja di hadapan dunia, meski batinnya terombang-ambing di lautan air mata.Â
Kesedihan dan penyesalan terbungkus rapi dalam senyum palsu dan kata-kata sederhana, "Aku baik-baik saja." Tetapi di dalam hati, sang ibu merasakan kehampaan yang tak terperikan. Dia tak pernah bisa benar-benar merasa utuh lagi.
Namun, ada hal lain yang memperparah penderitaan itu. Ketika keluarga atau kerabat menyebut bahwa kehadiran anggota baru dalam keluarga bisa menggantikan kehilangan anak tersebut, hati ibu terasa seperti ditusuk ribuan pisau.Â
Bagaimana mungkin seseorang bisa menggantikan tempat anak yang telah hilang? Tidak ada anak lain, baik anak orang lain maupun anak yang lahir dari rahimnya sendiri, yang bisa mengisi kekosongan itu.Â
Setiap anak unik, dan begitu pula tempat yang mereka huni dalam hati ibu. Kehadiran anak baru mungkin membawa kebahagiaan, tetapi luka dari kehilangan sebelumnya tidak pernah hilang.
Kata-kata seperti itu, meskipun mungkin dimaksudkan untuk memberikan kenyamanan, hanya membuat luka itu semakin dalam. Si ibu terjebak dalam dilema perasaan: marah, kecewa, dan juga kebencian terhadap dirinya sendiri. "Mengapa aku tidak bisa melindunginya? Mengapa aku harus kehilangan dia?"Â
Begitu banyak pertanyaan yang tak memiliki jawaban. Hatinya penuh dengan kebencian terhadap dirinya sendiri, meskipun orang-orang di sekitarnya terus berkata bahwa semua bukan salahnya. Namun, bisikan-bisikan itu tak pernah mencapai lubuk hatinya. Dia merasa gagal sebagai ibu.
Kehilangan seorang anak bukanlah sesuatu yang bisa dilupakan atau disembuhkan dengan mudah. Bagi sang ibu, luka itu akan terus ada, menggerogoti, meskipun waktu berjalan. Anak yang hilang bukanlah sekadar kehilangan fisik, tetapi juga hilangnya masa depan, tawa, pelukan, dan mimpi-mimpi yang pernah dibayangkan.Â
Setiap hari, sang ibu berjuang, bukan hanya melawan kesedihan dan rasa bersalah, tetapi juga melawan harapan-harapan orang lain yang mengira bahwa hidup bisa kembali seperti sediakala. Namun, bagi ibu yang telah kehilangan anaknya, tidak ada yang pernah bisa kembali sama. Tidak ada pengganti. Tidak ada penghapus luka.
Hingga hari ini, meskipun dunia mungkin telah melupakan anak itu, bagi ibunya, dia tetap hidup dalam kenangan, dalam setiap detak jantungnya yang terluka. Setiap kali dia memejamkan mata, dia melihat wajah anaknya yang tersenyum---bayangan yang tak akan pernah tergantikan.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H