Istilah "Gibran Effect" merujuk pada dampak yang ditimbulkan oleh Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, dalam politik lokal Indonesia.Â
Gibran yang relatif muda dan minim pengalaman politik berhasil menjadi Wali Kota Solo, mengangkat diskusi tentang peran dan pengaruh pemimpin muda dalam pemerintahan daerah.
Fenomena kepala daerah yang masih muda dan minim pengalaman dalam politik dan kepemimpinan semakin sering kita jumpai. Di satu sisi, kehadiran mereka bisa membawa angin segar dengan ide-ide baru dan semangat perubahan.Â
Namun, di sisi lain, ada banyak tantangan yang harus dihadapi ketika seorang pemimpin muda tanpa pengalaman mencoba mengelola daerah.Â
Akan tetapi tidak lantas figur muda ini dimaknai bisa mendaulat siapapun yang masih berusia muda tapi minim pengalaman berpolitik. Saya kaget waktu membaca artikel soal komika Marshel Widianto yang tiba-tiba digadang-gadang masuk bursa pencalonan di Pilkada Tangerang Selatan diusung oleh Partai Gerindra.Â
Cek ombak boleh saja, tapi figur yang seperti apa yang disodorkan. Tidak heran setelah artikel itu naik dan diunggah juga di media sosial, deretan komentar beraroma negatif bertebaran. Komentar itu menyoroti rekam jejak Marshel Widianto selama ini. Yang pasti negatif.
Memang kesuksesan Gibran dalam Pilkada Solo memotivasi banyak pemuda lain untuk terjun ke dunia politik. Ini menunjukkan bahwa dengan dukungan dan strategi yang tepat, usia muda bukan halangan untuk meraih posisi penting dalam pemerintahan.
Gibran bukan hanya populer karena prestasinya, tetapi juga karena statusnya sebagai anak presiden. Hal ini memicu diskusi tentang pengaruh dinasti politik dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Namun kehadiran pemimpin muda seperti Gibran sering dikaitkan dengan harapan akan inovasi dan perubahan. Mereka dianggap membawa energi baru dan cara pandang yang segar dalam menghadapi tantangan daerah.
Kendati demikian, di sisi lain, ada kritik bahwa pemimpin muda seperti Gibran mungkin lebih mengandalkan nama besar keluarganya ketimbang pengalaman dan kompetensi. Ini menimbulkan skeptisisme tentang apakah mereka benar-benar mampu memimpin dengan efektif.
Ada banyak hal bisa dikupas tentang figur muda nan minim pengalaman. Tanpa pengalaman yang memadai, pemimpin muda bisa kesulitan dalam mengambil keputusan yang tepat dan strategis. Mereka mungkin tidak memiliki keterampilan diplomasi dan manajemen yang diperlukan untuk mengelola pemerintahan.
Misalnya, jika memang Partai Gerindra serius mengusung Marshel Widianto, dan ternyata pemilih memilihnya, mungkin bisa berbahaya di masa depan. Mengandalkan popularitas semata tanpa kapabilitas dan kompetensi yang memadai bisa berbahaya. Popularitas tidak selalu berarti kemampuan untuk memimpin dan menyelesaikan masalah yang kompleks di daerah.
Selain itu, banyak kasus menunjukkan bahwa pemimpin muda tanpa pengalaman sering terjebak dalam praktik politik uang (money politics) untuk memenangkan jabatan. Ini tidak hanya merusak integritas mereka tetapi juga mencederai demokrasi dan kepercayaan publik.
Memilih pemimpin daerah hanya berdasarkan popularitas, seperti mengusung selebriti atau komedian tanpa kapabilitas politik, bisa terlihat seperti mengolok-olok jabatan publik. Kepemimpinan daerah adalah tugas serius yang membutuhkan kemampuan lebih dari sekadar popularitas atau hiburan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H