Mohon tunggu...
DEWIYATINI
DEWIYATINI Mohon Tunggu... Freelancer - freelance writer

Belakangan, hiburan di rumah tidak jauh dari menonton berbagai film dan seri dari berbagai negara, meski genre kriminal lebih banyak. Daripada hanya dinikmati sendiri, setidaknya dibagikan dari sudut pandang ibu-ibu deh! Kendati demikian, tetap akan ada tulisan ringan tentang topik-topik yang hangat mungkin juga memanas di negeri ini. Terima kasih untuk yang sudah menengok tulisan-tulisan receh saya. Love you all!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Betapa Mudah Menghancurkan Mimpi Lulusan SMA dengan UKT Selangit

19 Mei 2024   19:17 Diperbarui: 19 Mei 2024   19:53 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingat percakapan dua puluh lima tahun lalu dengan almarhum Bapak, ketika selesai Ujian Nasional (UN). Ah lupa, dulu sebutannya UN atau bukan. Pokoknya menjelang kelulusan SMA.

"Kamu sudah selesai ujian kan? Jadi bagaimana mau meneruskan sekolah atau tidak?"

Belum menjawab, Bapak sudah memberikan pilihan jawaban atas pertanyaan yang tadi dia ajukan. "Kalau tidak mau meneruskan sekolah ke perguruan tinggi, ya sudah, menikah saja. Bagaimana? Mau pilih yang mana?"

Saya menjawab akan melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Eh, dipikir kelar sampai di situ. Rupanya Bapak mengajukan persyaratan bahwa saya bisa melanjutkan dengan opsi, perguruan tinggi negeri yang berada di Kota Bandung. 

Wajar jika persyaratan itu diajukan, karena Bapak hanya buruh pabrik yang pasti akan berat bila saya memilih lokasi kampus di luar kota. Selain bekal, Bapak harus menyiapkan uang sewa kosan dan biaya makan tiap bulannya.

Karena saya jurusan IPS, pilihan hanya Universitas Padjadjaran dan dua jurusan yang ada di Kota Bandung. 

Saat itu, belum ada istilah Uang Kuliah Tunggal (UKT). Biaya iuran semesteran kurang dari Rp300.000. Sedangkan saat awal masuk dibutuhkan uang sekitar Rp1,5 juta. Uang itu Bapak dapatkan dari kakaknya yang ia bayar dengan cara mencicil tiap bulan.

Bapak bersusah payah mencari uang untuk membayar iuran semester dan kebutuhan kuliah lainnya karena ia berharap anak-anaknya memiliki penghidupan yang lebih baik dari orang tuanya yang hanya lulusan sekolah menengah. 

Ketika itu wajib belajar belum seperti sekarang, tapi banyak orang tua yang menyadari bahwa pendidikan tinggi itu dibutuhkan untuk membuka peluang lebih besar bagi anak-anaknya memperbaiki penghidupan. 

Namun, sekarang biaya kuliah semakin mahal. Bahkan ada yang menyebut uang kuliah naik hingga 300 persen. Sangat memberatkan.

Lalu, saat mahasiswa mengeluhkan tentang hal itu hingga ke senayan, respon kementerian sungguh di luar nalar. Tidak ada pernyataan yang membuat hati adem. Yang ada malah bikin panas.

Kementerian yang mewakili pemerintah malah menyebut pendidikan tinggi bukan bagian wajib belajar. Itu tersier. Kenapa bisa mengatakan seperti itu tanpa rasa empati? Anak-anak lulusan SMP yang memilih masuk SMA sudah jelas tujuannya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun, ketika biaya kuliah mencekik, pilihan mereka menjemput masa depan harus terhenti. 

Tahukah mereka bagaimana perjuangan orang tua untuk membiayai anaknya kuliah? Lalu saat lulus, butuh perjuangan keras untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Buat mereka yang memiliki uang atau berasal dari keluarga kaya, daripada jadi pengangguran akan memilih melanjutkan kuliah yang lebih tinggi.

Lalu bagaimana untuk mereka yang hidup pas-pasan. Disebut miskin, tidak masuk kategori, tapi disuguhkan UKT dengan harga selangit, pastinya tidak mampu.

Tidak heran banyak mahasiswa baru yang lolos seleksi, akhirnya mundur dan membiarkan mimpi-mimpi akan masa depan cerah dikubur. Sungguh teganya!***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun