Rekan kerja saya segera membawa kembali kesadaran saya dan menyarankan datang ke rumah sebagai temannya. Ya kan, memang temannya, tapi tetap mencari informasi. Sudah melekat ternyata, kebiasaan mengorek informasi.
Dari para tetangga dapat cerita, orang tuanya sedang ke Medan mengantar kakaknya untuk menikah. Ya, TK hanya dua bersaudara. TK tidak ikut karena kantornya tidak memberi izin, sehingga ia tinggal di rumah.Â
Saat ia sendiri itulah, kekasihnya mengajak dia pergi. Tadinya TK tidak mau, tapi berkat bujuk rayu si pacar akhirnya TK mau berangkat. Dia diajak ke Cianjur. TK sempat memberitahukan tetangganya kalau ia pergi keluar dengan kekasihnya itu.
Seingat saya, dari cerita tetangganya, hubungan TK itu tidak direstui. Malahan saya baru tahu keesokan harinya dari jurnalis yang memang bertugas pos di kepolisian, TK dibunuh kekasihnya. Ketika nama kekasihnya disebut, saya kembali kaget.Â
Kekasih TK masih saya kenal. Dia teman satu SMA juga. Dialah Y, yang saya tidak tahu sejak kapan mereka berhubungan.Â
Rupanya pertemuan terakhir itu, TK meminta putus hubungan. Y tidak terima, TK mengancam akan lompat dari mobil yang masih melaju. Entah bagaimana ceritanya hingga Y malah mencekik TK hingga tewas. TK dibuang dan dia melarikan diri.
TK memang masih ada kerabat dengan jenderal kepolisian atau pejabat begitu, sehingga dengan mudah menemukan Y. Y didakwa telah membunuh dan dijatuhi hukuman 14 tahun.
Bila saya yang memang bertugas di pos kepolisian, saya tidak yakin bisa bekerja dengan objektif. Keduanya orang yang saya kenal, apalagi TK pernah satu kelas dan sering ngobrol. Saya yakin saat menulis pun pasti perasaan saya terlibat dalam.Â
Karena saya tahu, menulis dengan hati terluka itu sulit. Sangat sulit.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H