Presiden terpilih Prabowo Subianto memberi sinyal diperlukan tambah kementerian baru untuk sinkronisasi janji-janji politiknya dalam bentuk berbagai program. Para menteri yang akan menjadi pembantunya yang membantu mewujudkan program-program tersebut seperti makan siang dan susu gratis.Â
Kabarnya dari 34 kementerian akan tambah kementerian menjadi 41 kementerian. Wow, semakin gemoy!
Program makan siang gratis sendiri diperlukan anggaran triliunan. Kalau iya, ingin menambah 7 kementerian, dana yang dibutuhkan tambah besar. Anggarannya pasti cukup sih, kan banyak uang. Atau tinggal geser-geser anggaran. Atau tinggal tambah utang negara.Â
Sayangnya, tiap rezim, jabatan pembantu presiden ini lebih banyak diisi oleh orang-orang partai politik, atau para pemberi dukungan seperti tim sukses dan relawan. Tidak sedikit dari mereka yang masih rangkap jabatan, terutama dari partai politik.
Saya akan mengulas dari sisi ibu rumah tangga saja untuk tambah kementerian itu. Karena untuk tambah kementerian itu secara pemerintahan, ada mekanisme yang harus dilewati yakni merevisi Undang-undang No 39 tahun 2008 tentang kementerian negara, yang pastinya jalannya akan panjang meski koalisi partai politik yang mendukungnya akan membantu tapi tidak akan secepat kilat. Atau bisa saja dengan cara judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), mungkin bisa lebih cepat.Â
Sesuai dengan Pasal 17 Undang-undang Dasar 1945, hak prerogatif Presiden itu mengangkat dan memberhentikan menteri. Karena diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, artinya para menteri ini hanya bertanggung jawab penuh terhadap Presiden. Hanya ada satu majikan.Â
Para pembantu presiden ini ada yang dari nonparpol atau yang kita sebut teknokrat. Tapi ada juga yang dari parpol. Bahkan bukan hanya anggota parpol statusnya, tapi ketua umum parpol yang menjadi menteri.
Namun kenyataannya, para menteri ini memiliki majikan lain. Majikan sang menteri  ini bertugas mengawasi kinerja Presiden, disebut dengan lembaga legislatif yang isinya parpol.Â
Presiden dibantu menteri, jadi si menteri juga merupakan bagian dari pihak yang diawasi oleh lembaga legislatif. Namun, bagaimana ceritanya kalau si menteri ini masih orang parpol bahkan bosnya anggota parpol yang duduk di lembaga legislatif. Mampukah mengawasi dengan fair?
Oke, kita beranjak sedikit ke logika yang lebih sederhana. Rumah tangga setidaknya bisa disebut sebagai miniatur negara. Ya, sederhananya ada relasi majikan dan pembantu.Â
Saya sebagai majikan akan mempertimbangkan banyak hal dalam hal mengangkat pembantu. Pertama, saya mengukur pekerjaan yang harus dibantu oleh pembantu. Kemudian, menentukan kebutuhan jumlah pembantu dengan disesuaikan keuangan yang ada.Â
Misalnya saya membutuhkan sepuluh pembantu, karena pekerjaan cukup banyak. Belum lagi, persoalan biaya makan dan tinggal si pembantu. Apakah mereka menginap atau tidak? Kalau menginap tentu ada makan malam untuk mereka. Kalau tidak, bagaimana.
Anggap saja para pembantu ini digaji dengan standar UMR. Apakah dana yang saya miliki cukup untuk mereka atau tidak? Haruskah saya mengurangi jumlahnya atau bekerja lebih keras agar upah untuk mereka tercukupi?
Belum lagi persoalan kompetensi mereka. Apakah mereka memenuhi kompetensi yang dibutuhkan? Jangan sampai ada titipan kerabat atau sahabat yang tidak bisa bekerja sesuai kompetensi dipaksakan masuk. Bisa jadi pekerjaan yang ada tidak sesuai ekspektasi.
Demikian juga dengan menteri-menteri yang akan diangkat, sudah sesuai kompetensi mereka dengan pos yang tersedia. Kalau hanya titipan, ini akan lebih repot karena bawahan menteri akan bekerja tanpa instruksi jelas. Jangan sampai berjalan auto pilot.Â
Saya tidak alergi dengan titipan orang dalam, bila sesuai dengan kompetensinya. Tapi kalau sudah masuk, lebih baik melepaskan diri dari majikan lain. Fokus saja bekerja pada satu majikan. Anggaplah majikan yang dulu memberikan jalan tapi tidak perlu mengorbankan pekerjaan di majikan baru.Â
Untuk majikan, jangan memaksakan diri karena titipan. Apalagi demi titipan ini, sampai membuka kementerian baru. Wah, itu uangnya sangat sangat besar. Karena harus membangun infrastruktur, menyediakan sumber daya manusia, dan harus mampu berlari untuk melaksanakan program kerja.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H