Saya sebagai majikan akan mempertimbangkan banyak hal dalam hal mengangkat pembantu. Pertama, saya mengukur pekerjaan yang harus dibantu oleh pembantu. Kemudian, menentukan kebutuhan jumlah pembantu dengan disesuaikan keuangan yang ada.Â
Misalnya saya membutuhkan sepuluh pembantu, karena pekerjaan cukup banyak. Belum lagi, persoalan biaya makan dan tinggal si pembantu. Apakah mereka menginap atau tidak? Kalau menginap tentu ada makan malam untuk mereka. Kalau tidak, bagaimana.
Anggap saja para pembantu ini digaji dengan standar UMR. Apakah dana yang saya miliki cukup untuk mereka atau tidak? Haruskah saya mengurangi jumlahnya atau bekerja lebih keras agar upah untuk mereka tercukupi?
Belum lagi persoalan kompetensi mereka. Apakah mereka memenuhi kompetensi yang dibutuhkan? Jangan sampai ada titipan kerabat atau sahabat yang tidak bisa bekerja sesuai kompetensi dipaksakan masuk. Bisa jadi pekerjaan yang ada tidak sesuai ekspektasi.
Demikian juga dengan menteri-menteri yang akan diangkat, sudah sesuai kompetensi mereka dengan pos yang tersedia. Kalau hanya titipan, ini akan lebih repot karena bawahan menteri akan bekerja tanpa instruksi jelas. Jangan sampai berjalan auto pilot.Â
Saya tidak alergi dengan titipan orang dalam, bila sesuai dengan kompetensinya. Tapi kalau sudah masuk, lebih baik melepaskan diri dari majikan lain. Fokus saja bekerja pada satu majikan. Anggaplah majikan yang dulu memberikan jalan tapi tidak perlu mengorbankan pekerjaan di majikan baru.Â
Untuk majikan, jangan memaksakan diri karena titipan. Apalagi demi titipan ini, sampai membuka kementerian baru. Wah, itu uangnya sangat sangat besar. Karena harus membangun infrastruktur, menyediakan sumber daya manusia, dan harus mampu berlari untuk melaksanakan program kerja.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H