Pada tahun 2007, Kota Bekasi dihebohkan dengan serangkaian kasus mutilasi yang mengguncang seluruh masyarakat. Kebetulan saat itu, saya jurnalis yang bertugas di wilayah itu, tepatnya jurnalis pemula karena kurang dari setahun saya bekerja.Â
Saya terlibat langsung dalam meliput perkembangan kasus-kasus tersebut. Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman dan refleksi pribadi saya selama terlibat dalam meliput tragedi-tragedi tersebut.Â
Bagi saya, liputan kasus mutilasi ini, yang membentuk karakter bekerja sebagai jurnalis. Sedikitnya jadi belajar bahwa seorang kriminal itu belajar dalam melakukan kejahatannya. Saya pun mulai terbiasa 'bertemu' dengan jasad-jasad tidak wajar.Â
Polisi bukan, doktor autopsi bukan, tapi tiap hari ketemu jasad tak bernyawa, termasuk korban mutilasi.Â
Di awal meliput kasus mutilasi pasti dong ada berbagai campuran emosi. Kaget, jijik, hingga bingung. Tapi itu harus dihadapi. Ada kewajiban menyampaikan cerita itu kepada pembaca.Â
Saya masih ingat, ada kasus mutilasi pada pertengahan 2007. Di awal, korbannya itu diduga perempuan. Potongan tubuhnya disebar ke berbagai sudut Kota Bekasi. Potongan seperti habis menjagal hewan saja.Â
Beberapa bulan kemudian, ada lagi. Setiap kasus, bagian yang mudah dikenali identitasnya selalu tidak ada. Dan, kemudian, ada lagi. Kali ini, tiap potongan dibungkus plastik berbeda. Potongan sudah bersih, sepertinya dicuci.
Penjahat itu belajar dengan cepat. Jarak antara satu kejahatan dengan kejahatan lainnya kian pendek. Ketika itu, polisi kesulitan melacak jejaknya. Kota Bekasi sebagai penyangga ibu kota, memiliki banyak gerbang tol yang memudahkan para penjahat ini membuang jasad di Kota Bekasi. Dengan mengetahui waktu kematian tidak membantu dari mana korban berasal atau di mana perbuatan dilakukan.
Pernah ada satu kardus berisi korban kasus serupa, tapi ini anak-anak. Kardus ini berada di trotoar setelah diturunkan kernet bus. Tidak ada yang menyangka isinya jasad manusia karena tidak berbau. Tidak ada pula yang menyadari penumpang yang membawa kardus ini.Â
Hingga akhirnya, disimpulkan Kota Bekasi hanya tempat pembuangan. Siapa pelaku dan di mana kejahatan tidak ada yang tahu.Â
Para penjahat semakin pintar memilih korban yang tidak akan dicari keluarganya. Mereka semakin cerdik memilih cara membuang korban dan menghapus jejak.Â
Lalu saya? Saya semakin terbiasa melihat korban-korban seperti itu. Saya seperti tidak bisa membedakan rasa jijik. Karena pernah satu kali, saya tengah sarapan, dihubungi untuk datang ke rumah sakit liputan korban mutilasi. Saya masuk ke ruang jenazah, cek jasad, wawancara, lalu kembali ke tempat sarapan. Melanjutkan sarapan.
"Kamu enggak jijik abis dari sana terus sarapan lagi?" tanya pedagang ketoprak.
"Enggak lah, saya lapar. Lagian udah cuci tangan tadi," saya berdalih.
Dulu saya sempat diajari editor untuk tidak mempercayai keterangan polisi, terutama soal korban. Bila memang ada kesempatan, usahakan cek kembali pernyataan polisi. Misalnya, apa benar ada 5 luka tembak? Di mana saja? Jangan sampai kita hanya menulis yang disampaikan polisi saja. Bukankah kerja jurnalistik itu check dan recheck demi informasi akurat?
Meskipun berada di tengah tragedi, pengalaman meliput kasus-kasus mutilasi di Kota Bekasi tahun 2007 telah mengajarkan saya banyak hal. Saya belajar tentang kekuatan ketahanan diri, empati terhadap sesama, dan pentingnya menjaga integritas dalam profesi jurnalistik.
Pengalaman ini juga membuat saya semakin yakin akan peran penting media dalam menyuarakan kebenaran. Saya tidak berani menyebut keadilan, karena maknanya bisa beragam.Â
Meliput kasus-kasus mutilasi di Kota Bekasi tahun 2007 adalah pengalaman yang tak terlupakan dalam perjalanan karier jurnalistik saya. Meskipun memicu berbagai emosi dan tantangan, pengalaman ini juga membawa saya pada refleksi mendalam tentang tanggung jawab moral seorang jurnalis.Â
Meski kadang timbul pertanyaan di benak saya, apakah saya masih memiliki rasa kemanusiaan, di kala melihat orang meninggal. Saya bergeming.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI