Messi kecil mulai menunjukkan minatnya terhadap sepak bola saat bermain dengan sang kakak dan sepupunya. Namun yang benar-benar menemukan bakatnya sebagai seorang pemain sepak bola bukanlah Ayah atau Ibunya, melainkan Celia, nenek Messi. Celialah yang mengajarkan Messi bagaimana cara menandang bola. Sesuatu yang mungkin tidak akan disadari oleh Celia kalau itu akan mengubah peta persepakbolaan dunia.Â
Suatu hari pada 1992, sang nenek mendatangi pelatih klub lokal, Grandoli, Salvador Aparicio. Ketika itu, neneknya menyuruh Aparicio untuk memperhatikan kehebatan cucunya.
Jerih payah Celia dalam mempromosikan Messi kecil berbuah hasil. Pada 1995, Messi berhasil menembus klub anak-anak milik Newell’s Old Boys, satu dari dua klub besar di Provinsi Santa Fe. Dari situ, cerita soal anak yang memiliki bakat sebesar Maradona pun mulai tersiar luas. Saat bermain di klub inilah Messi mendapatkan julukan El Pulga (si kutu). Julukan ini merujuk pada fisik Messi yang mungil, tapi merepotkan setiap pemain tim lawan.
Neneknya tentu saja sangat bangga. Upayanya memompa bakat sang cucu tidak sia-sia. Sayangnya, sang nenek tidak bisa melihat Messi perkembangan cucunya lagi. Ia meninggal pada 1998 saat Messi masih berada di Newell’s Old Boys.
Untuk menghormati jasa salah satu orang paling dicintainya itu, Messi kerap melakukan selebrasi dengan mengangkat kedua tangannya ke atas. Hal tersebut tentu dilakukan untuk mempersembahkan gol yang dicetaknya kepada sang nenek. Dan tidak terbayangkan sudah berapa kali nenek Messi tersenyum dari surga tiap kali Messi melakukan selebrasi ikoniknya tersebut.
Berkaca dari dua sosok fenomenal tersebut, satu hal yang dapat kita pelajari bersama adalah tentang bagaimana cara kita merespon masalah. Sebagai manusia yang lemah, kita tidak memiliki hak untuk meminta kepada Tuhan supaya kita selalu dijauhkan dari masalah. Masalah akan selalu ada di dalam setiap kehidupan kita. Kita tidak punya kontrol atas hal tersebut. Namun satu hal yang dapat kita pilih adalah respon kita terhadap masalah yang terjadi di kehidupan kita.
Coba bayangkan kalau Adriano tidak menjadikan kehilangan sosok Ayahnya sebagai alibi untuk dapat mangkir dari kewajibannya sebagai atlet profesional.Â
Mungkin saat ini Adriano dapat meraih penghargaan Ballon d'Or dan penggemar Inter Milan tetap dapat memainkan sosok fenomenal ini untuk merajai gim PES pada seri-seri berikutnya.
Atau pernahkan kita bayangkan andai saja Messi muda berlarut-larut dalam kesedihan akibat ditinggal oleh neneknya? Mungkin sepak bola hanya akan didominasi oleh nama Cristiano Ronaldo sebagai pemenang Ballon d'Or sebelas kali berturut-turut. Dan La Liga pasti akan sangat membosankan karena Barcelona tidak akan bisa dapat mematahkan kedigdayaan Real Madrid.
Semua itu mungkin hanya dapat terjadi di dunia paralel yang lain. Namun yang dapat kita pelajari bersama adalah, respon terhadap masalah itu jauh lebih penting dari masalah itu sendiri. Kesuksesan dan kegagalan seseorang hanya sebatas sehelai rambut dari keputusan kita untuk tetap tegar atau terus merundung.
Jadi mana yang Anda pilih, apakah Anda ingin belajar dari Sang Kaisar yang dengan segala air matanya akhirnya jatuh ke jurang terdalam, atau  Sang Kutu, yang meski kecil, ternyata memiliki kebesaran hati yang jauh melebihi batasan fisiknya.