"Setiap orang berhak atas kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/kepercayaan. Namun, pemerintah/negara wajib mengatur kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama."
Kutipan di atas ialah manifesto perjuangan Partai Gerindra, partai bentukan Prabowo Subianto yang kini maju sebagai Capres berpasangan dengan Hatta Rajasa. Saya mendapatkannya dari seorang kawan. Ia meminta penilaian saya terhadap isi dari manifesto yang belakangan dikatakan "disusun dengan tergesa-gesa" itu.
Sebagai pendahuluan, saya sepakat dengan kalimat "Setiap orang berhak atas kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/kepercayaan.
Penggalan kalimat dari manifesto itu sesuai dengan UUD 1945 terutama Pasal 29 yang intinya menegaskan bahwa negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Sehingga saya sepakat dengan penggalan kalimat dari manifesto tersebut.
Namun, dahi saya berkerenyit takkala membaca kalimat lanjutan dari manifesto itu, yakni "Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama." mengapa?
Pertama, manifesto itu tidak menjabarkan apa dan bagaimana negara menjamin kemurnian dari ajaran agama yang diakui oleh negara. Manifesto itu juga tidak menjabarkan lebih luas apa yang dimaksud dengan "kemurnian" dari ajaran suatu agama. Kalaupun manifesto itu menjabarkan apa yang dimaksud dengan "kemurnian", maka manifesto itu juga harus menjabarkan apa yang dimaksud dengan "ketidakmurnian" ajaran suatu agama sebagai lawan kata dari "kemurnian"
Kedua, kalimat berikutnya juga tidak kalah rancunya, yakni "dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama." Apa yang dimaksud dengan "penistaan" dan "penyelewengan" ajaran agama. Kemudian apa kriteria yang dipakai untuk menetapkan "penistaan" dan "penyelewengan" ajaran agama?
Saya khawatir jika tidak dijabarkan lebih luas dan jauh, isi dari manifesto itu akan ditafsirkan beragama oleh publik. Lebih jauhnya, saya khawatir isi manifesto itu justru berpotensi mengoyak-ngoyak tirai keberagamaan beragama dan berkeyakinan di Indonesia dan menumbuhkan sikap intoleransi dalam beragama dan berkeyakinan.
Sebab, dengan kalimat "penistaan" dan "penyelewengan" ajaran agama, maka akan membuka peluang bagi "gank-gank" yang selama ini "m-mega vone-kan" intoleransi untuk menjatuhkan palu vonis "sesat", "menista" dan "menyelewengkan" ajaran terhadap satu kelompok yang memiliki paham keagamaan yang berbeda dengannya.
Isi manifesto itu juga bak menegaskan bahwa negara berhak untuk melakukan "literisasi" agama antara "yang murni" dan "yang tidak murni". Sehingga bagi pemahaman keagamaan dan keyakinan yang dianggap "tidak murni" harus dibumihanguskan dari kancah bumi pertiwi. Ini berarti negara telah memposisikan dirinya sebagai hakim pemutus di antara agama yang penafsirannya benar dan agama yang penafsirannya dianggap tidak benar.
Jika negara telah memposisikan dirinya sebagai hakim pemutus, maka negara akan memicu konflik keagamaan yang lebih besar di Indonesia. Faktanya, konflik keagamaan yang terjadi selama ini dan menimpa kaum minoritas terjadi akibat vonis sepihak sebagian kelompok terhadap kelompok lainnya yang dianggap telah "menista", "tidak murni" dan "menyeleweng" dari ajaran suatu agama.
Selain itu, isi dari manifesto itu jelas telah melanggar konstitusi negara yang menjamin setiap warga negaranya untuk beribadat sesuai dengan agama dan keyakinannya. Sebab, manifesto itu tidak lagi menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, tetapi negara telah "campur tangan" dalam kehidupan beragama dan berkeyakinan dengan melakukan apa yang dinamakan dengan "pemurnian" agama.
Walhasil, sebaiknya Gerindra menimbang kembali isi manifesto tersebut. Andaikata tidak, maka saya khawatir justru akan menimbulkan stigma negatif terhadap Prabowo Subianto, yang nota bene adalah pendiri Partai Gerindra. Jangan sampai isi dari manifesto itu disalahartikan, lebih jauhnya, disalahgunakan oleh kelompok-kelompok yang selama ini gemar menebar teror terhadap kerukunan umat beragama dengan "getol" melempar tuduhan "sesat".
Gitu aja koq repot!
Salam pentungan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H