"hidup sederhana, gak punya apa-apa tapi banyak cinta, hidup bermewah-mewahan, punya segalanya tapi sengsara..."
~Slank~
Lirik lagu diatas seakan menggambarkan bahwa kehidupan akan terasa sengsara apabila melakukan tindakan di luar dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kehidupan yang sederhana jauh memiliki dampak berkelanjutan dan terasa lebih tenang dibandingkan dengan kehidupan yang bermewahan tetapi penuh dengan rasa takut dan kecemasan. Semua hal ini dapat kita rasakan ketika menjalani hidup dalam sosial bermasyarakat, ditambah dengan adanya "viral" yang berdampak pada labelling sanksi sosial yang begitu luar biasa, menjadi koridor dalam menjalani segala kehidupan ini dengan penuh kehati-hatian. Untuk mencapai rasa aman dan tenang tersebut, pastinya diperlukan sebuah transparansi dan akuntabilitas akan segala bentuk perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma yang ada. Mengedepankan prinsip bahwa apapun yang dikelola yang bersumber dari masyarakat harus mampu dipertanggungjawabkan kepada masyarakat juga, mutlak menjadi hal penting dalam menumbuhkan jiwa anti-korupsi di era globalisasi ini.
Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan organisasi menjadi bagian dari penerapan prinsip good governance. Dampak dari transparansi dan akuntabilitas ini diharapkan mampu meningkatkan rasa saling percaya para stakeholders dalam suatu organisasi. Akuntabilitas publik dinyatakan sebagai bentuk pertanggungjawaban, dalam menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas kegiatan yang dijalankan pihak penerima amanah (agent) kepada pihak pemberi amanah (prinsipal) (Tanasal et al., 2019). Sedangkan Mardiasmo (2014) mengungkapkan akuntabilitas publik adalah penyampaian dan pertanggungjawaban mengenai segala aktivitas yang dibuat oleh pihak yang melaksanakan aktivitas kepada yang memberikan kewenangan untuk menjalankan aktivitas tersebut. Sebagai sebuah pemahaman tradisional, sesungguhnya akuntabilitas secara akal sehat memperlihatkan pemberian dan penerimaan dari suatu sebab. Grossi (2019) menjelaskan pula bahwa akuntabilitas menuntut adanya jawaban dari keterkaitan hubungan antara pihak internal dan pihak ekternal dalam suatu organisasi. Tuntutan akuntabilitas tersebut tidak lain sebagai cerminan hak masyarakat dan kelompok masyarakat yang timbul akibat hubungan masyarakat dengan organisasi itu sendiri. Akuntabilitas sebagai prasyarat untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan (going concern) dimaknai sebagai perwujudan atas kewajiban yang diamanatkan untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan menjalankan atas tujuan organisasi.
Penerapan akuntabilitas tidak saja merupakan kewajiban bagi organisasi profit. Akuntabilitas menjadi salah satu azas penerapan good governance juga merupakan perhatian yang serius bagi entitas nonprofit, seperti lembaga sosial kemasyarakatan dan organisasi sosial religius yang merupakan bagian dari organisasi nonprofit yang disebut pula "nirlaba". Dalam entitas nonprofit, pertanggungjawaban keuangan merupakan tuntutan yang diyakini mampu meningkatkan nilai kepercayaan masyarakat /publik terhadap jalannya roda organisasi. Untuk di Bali sendiri terdapat salah satu bentuk organisasi yang bersifat kemasyarakatan serta bernafaskan hukum adat Bali yang dikenal dengan nama "desa adat".
Desa Adat menurut Pasal 1 Angka 8 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali (selanjutnya disebut dengan Perda Bali 4 Tahun 2019) adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali. Sistem desa adat merupakan ciri khas sistem pemerintahan desa di Bali.Â
Desa adat di Bali memiliki lima ciri meliputi; 1) desa adat merupakan bagian sistem pemerintahan desa yang memiliki pengurus dan peraturan organisasi (awig-awig) baik tertulis maupun tidak tertulis, 2) terdapat otonomi baik internal maupun eksternal, dan 3) memiliki satu atau lebih kearifan lokal yang berkembang dan digunakan sebagai asas nilai bersama. Hal tersebut mengandung makna kebersamaan dan sistem gotong royong yang diterapkan pada desa adat. Tentunya pandangan ini dilihat dari filosofi Tri Hita Karana yang diemban, meliputi Parhayangan (hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan manusia dengan sesamanya) dan Palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan) (Griadhi, 2008).Â
Aturan atau awig-awig desa adat yang diserap dalam kebiasaan berkehidupan masyarakat, dan UUD 1945 menjadi sumber hukum tertinggi, dan merupakan aturan yang sangat sakral sehingga masyarakat tidak berani melanggarnya dikarenakan berisikan sanksi sosial, seperti kasepekang atau pengucilan masyarakat.
Dalam kehidupannya, masyarakat di Bali masih percaya dengan keyakinan yang diturunkan leluhurnya. Tatacara pergaulan masyarakat di Bali berpedoman pada aturan lokal yaitu awig-awig yang pengaturan teknisnya diturunkan pada perarem banjar (hasil mufakat bersama), hukum adat ini dapat mengesampingkan aturan yg bersifat umum / Asas Lex Speciali Derogat legi Generali dan aturan ini masih hidup sampai dengan sekarang.Â
Adanya pengakuan pemerintah Indonesia tentang kesatuan masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disebut dengan KMH adat) disebutkan "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.
Sistem Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali
Desa adat merupakan suatu organisasi atau lembaga tradisional kesatuan masyarakat hukum yang mengatur kehidupan masyarakat adat (terdiri atas banjar) yang bersifat sosial, religius serta mandiri yang berada pada suatu wilayah tertentu yang pelaksanaannya diatur berdasarkan awig-awig.Â
Aktivitas yang dilaksanakan oleh desa adat bukan hanya sebatas pengaturan sistem tatanan masyarakat, tetapi juga mengkoordinir kegiatan yang bersifat sosial dan juga kegiatan-kegiatan yang bersifat religius. Hal ini disebabkan karena desa adat merupakan organisasi tradisional yang berlandaskan atas Tri Hita Karana. Hal yang bersifat religius dan spiritual tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan ini termasuk bidang bisnis, karena hal itu akan mengeliminasi antara hal yang bijak dengan ketamakan pada semua makhluk hidup dan lingkungan (Field, 2017).Â
Demikian pula Pertiwi dan Ludigdo (2013) dan Budiasih (2014) menjelaskan bahwa akuntanbilitas dan religius-spiritualitas merupakan satu kesatuan yag tidak dapat dipisahkan.
Sumber-sumber pendapatan desa adat berasal dari internal dan eksternal. Pendapatan dari internal meliputi peturunan (iuran) dari para krama desa (warga desa) dan hasil pengembangan usaha ekonomi produktif desa, meliputi BUMDesa ataupun koperasi desa. Sedangkan sumber pendapatan eksternal berasal dari dana bantuan Pemda. Untuk peturunan yang dibayarkan oleh krama desa tidak ditentukan jangka waktu pembayarannya.Â
Hal ini hanya akan terjadi pada saat dana kas memang sedang membutuhkan tambahan. Peturunan bukanlah sumber satu-satunya kas desa adat, karena sumber-sumber pendapatan internal lain yang berupa ekonomi produktif lewat usaha desa dan koperasi desa. Dalam struktur organisasi desa adat, dikenal istilah Kelian Desa, Penyarikan dan Petengen. Kelian Desa pada desa adat di Bali merupakan kepala desa yang dituakan dan biasanya bersalah dari tokoh adat ataupun tokoh agama.Â
Untuk Penyarikan merupakan sekretaris desa, yang membantu administrasi dan hal lain dalam membantu kelian desa adat. Sedangkan Petengen sendiri merupakan bendahara yang mengelola keuangan desa adat, baik yang bersumber dari internal maupun dari eksternal.
Pada pengelolaan keuangan baik sumber internal dan eksternal, tidak hanya Petengen desa adat saja yang bekerja, tetapi ada juga pihak-pihak yang membantu, misalnya saja Kelihan Desa dan Penyarikan, serta persetujuan penggunaan uang dari krama desa.Â
Kalau hanya dilakukan oleh Petengen, mungkin akan menjadi beban tersendiri dan menyulitkan, bantuan dan pengawasan dari prajuru (perangkat desa) serta krama desa juga perlu dilakukan. Misalnya saja dalam pembuatan Laporan Pertanggungjawaban Anggaran, Kelihan Desa dan Penyarikan juga turut membantu proses penyusunananya.Â
Pengelolaan keuangan pada desa adat ini didasarkan pada proses yang saling terkait dan berkesinambungan. Mengingat keuangan desa adat juga menjadi keuangan yang perlu transparansi dan pertanggungjawaban yang baik. Adapun tiga tahapan utama tersebut, yaitu: (1) tahap penerimaan kas dari berbagai pos pendapatan desa adat yang melibatkan prajuru desa; (2) tahap pengeluaran kas yang digunakan untuk membiayai keperluan, dan (3) tahap pertanggungjawaban penggunaan dana atau kas desa adat selama kurun waktu tertentu.
Sedangkan untuk pengelolaan dana bantuan pemerintah dibagi menjadi beberapa aspek. Adapun program-program yang rutin dilaksanakan oleh desa adat yang mempergunakan dana bantuan dari Pemerintah Provinsi Bali adalah program Ekonomi Produktif (Simpan Pinjam), Dana Operasional Pekaseh, Dana Operasional Prajuru lainnya, Dana Penunjang Administrasi Desa dan Pembangunan Pemeliharaan Kantor Desa.Â
Ekonomi produktif merupakan program yang dicanangkan oleh pemerintah untuk seluruh desa adat yang ada di Bali. Kebijakan program ekonomi produktif ditentukan oleh masing-masing kebutuhan desa adat. Desa adat melaksanakan program ekonomi produktif dengan melaksanakan kegiatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) ataupun melalui pembentukan Koperasi Unit Desa (KUD).Â
Seluruh krama desa berhak mendapatkan manfaat program desa adat, misalnya saja simpan pinjam, tetapi ditentukan melalui suatu pararem (rapat desa). Untuk program peningkatan ekonomi produktif melalui koperasi ini didasarkan pada hasil pararem dan krama desa yang mendapatkannya pun digilir, sehingga semua rata menerima manfaat program desa.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan Operasional Prajuru adalah pembiayaan yang dikeluarkan dalam pelaksanaan kegiatan operasional desa adat. Kegiatan operasional prajuru biasanya dilakukan dalam bentuk gotong royong pembangunan ataupun pemeliharaan fisik kantor desa.Â
Pengeluaran kas yang dilakukan adalah pembelian konsumsi untuk kegiatan pararem segenap prajuru desa dengan krama desa, serta pembelian banten (sarana upacara) yang dilakukan sebagai bentuk nilai religius yang rutin dilaksanakan setiap tiga kali sehari. Dalam kegiatan operasional prajuru, ada juga biaya-biaya operasional lain seperti biaya perjalanan dinas prajuru dalam melaksanakan koordinasi dengan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, biaya perjalanan meminta tirta (air suci) ke Pura Ulun Danu Batur dalam rangka pelaksanan upacara ngusaba desa, dan biaya perjalanan sosialisasi kepada krama desa.Â
Dana administrasi desa adat dapat dari pengeluaran-pengeluaran selama operasional, baik yang menyangkut surat-menyurat maupun pembuatan proposal dan materai yang diperlukan, yang diterima langsung oleh Petengen desa adat.
Dana eksternal desa adat selanjutnya adalah dana yang bersumber dari Hibah Pemda Bali. Berdasarkan praktik di lapangan, diketahui bahwa pengelolaan sumber dana eksternal desa adat dari pemerintah provinsi dilakukan secara bersamaan. Praktik yang bersih merupakan syarat terpenuhinya akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum dalam dimensi akuntabilitas publik.Â
Menurut Mardiasmo (2014) bahwa akuntabilitas kejujuran lebih menyangkut pada penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of power), sedangkan akuntabilitas hukum terkait pada jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam penggunaan sumber dana publik. Selain itu, kepercayaan krama desa yang diberikan kepada prajuru desa adat dalam melakukan pengelolaan keuangan merupakan cerminan nilai dan norma yang tidak boleh dipermainkan.
Berdasarkan fenomena di lapangan, terlihat bahwa kekayaan desa adat tidak saja berbentuk tanah dan bangunan tetapi juga yang nonfisik. Ini menunjukkan bahwa sangat terlihat tanggung jawab yang berat bagi prajuru desa dalam mempertahankan marwah desa adat itu sendiri.Â
Prajuru desa adat sangat bertanggung jawab terhadap kekayaan desa adat yang berwujud nonfisik, seperti nama baik desa dan simbol lain yang memiliki nilai tinggi (kearifan dan peninggalan). Oleh karena itu, desa adat tidak saja meliputi berbagai aspek kehidupan manusia seperti ekonomi, politik, dan sosial, tetapi juga memiliki kontribusi terhadap adat demi terciptanya ketertiban dan ketenteraman masyarakat (Sukerti, 2017).Â
Keberadaan desa adat sebagai penyangga suatu daerah berperan strategis bagi kemajuan daerah. Pendidikan dan aspek kearifan lokal Bali merupakan faktor pendukung yang penting bagi kemajuan desa adat. Faktor-faktor ini menjadi bagian dari transparansi yang sarat ditunjukan kepada krama desa, melihat segala asset yang ada menjadi tanggungjawab bersama.
Good public governance menjadi legal standing dan pintu masuk mengenali akuntabilitas. Pemisahan antara pemilik dan pengelola sejatinya merupakan cikal bakal adanya konsep corporate governance. Pemilik diposisikan sebagai prinsipal dan pengelola atau manajer diistilahkan sebagai agent. Dalam praktiknya, seorang manajer cenderung akan memenuhi kepentingan pribadi daripada pemegang saham.Â
Terlebih, informasi tentang perusahaan lebih banyak dimiliki oleh manajer, dikarenakan lebih sering berhadapan dengan kondisi perusahaan daripada pemilik, sehingga risiko manajemen laba mudah terjadi (Yulianita, 2018). Hubungan antara pemilik dan pengelola tersebut yang kemudian menjadikan adanya masalah keagenan, dikarenakan tujuan yang berbeda di antara keduanya memunculkan konflik kepentingan (conflict of interset) yang alami.Â
Masalah keagenan merupakan konflik kepentingan yang melekat dalam hubungan apa pun, dimana satu pihak diharapkan bertindak demi kepentingan terbaik pihak lain.Â
Dalam hal pengelolaan keuangan, masalah keagenan biasanya mengacu pada konflik kepentingan antara para manajemen dan pemilik. Sebagai upaya perbaikan sistemik terhadap masalah keagenan yang muncul di Indonesia, pemerintah mendirikan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) sebagai lembaga bagi para ahli dan pakar governance.
Dalam upaya membangun suasana ekonomi yang berdaya saing, KNKG lalu meluncurkan pedoman good corprate governance sebagai acuan bagi beberapa perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya serta meminimalisasi dampak-dampak agency problem yang muncul.Â
Bahkan, dalam membangun iklim berimbang menuju pembangunan yang berkelanjutan pada tiga sektor, yaitu negara, swasta, dan masyarakat, maka pada tahun 2008 diluncurkanlah pedoman baru good governance pada sektor pelayanan publik yang disebut dengan istilah good public governance (GPG).Â
GPG dimaksudkan sebagai usaha untuk mengefektifkan penyelenggaraan negara, mengarahkan terciptanya fungsi pengawasan yang baik, mendorong aparatur negara mengembangkan integritas dan kemampuan diri, menciptakan tumbuhnya tanggung jawab untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, serta menumbuhkan daya saing yang regional ataupun internasional.Â
Setiap lembaga publik pun wajib memastikan seluruh asas GPG yang terdiri dari demokrasi, transparansi, akuntabilitas, budaya hukum, serta kewajaran dan kesetaraan agar dijalankan dengan baik di setiap fungsi organisasi.
Tujuan dari penerapan GPG tersebut bagi sektor publik juga selaras untuk diadopsi dalam lingkup penyelenggaraan pemerintahan desa adat di Bali. Dalam tatanan masyarakat adat di Bali sesungguhya penerapan GPG tersebut tercermin dari implementasi setiap asasnya. Demokrasi yang didominasi oleh semangat partisipatif krama desa terlihat pada saat pengambilan keputusan pararem atau rapat desa.Â
Masyarakat adat cukup responsif dan partisipatif dalam menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan penganggaran desa adat dalam satu tahun anggaran. Semangat keterbukaan dalam bentuk implementasi transparansi tercermin dari begitu banyaknya desa adat di Bali yang memanfaatkan media sosial untuk menyalurkan segala bentuk informasi aktivitas yang dijalankan. Bahkan, dalam mengumumkan peraturan adat bisa diakses secara online oleh masyarakatnya.Â
Keberadaan pararem sebagai lembaga pemutus adat di setiap desa adat mencerminkan juga akuntabilitas berjalan dengan baik di Bali. Adanya rincian fungsi dan tugas masing-masing perangkat desa adat sesuai dengan praturan daerah di Provinsi Bali menjadi titik awal penerapan akuntabilitas selain dalam upaya menyajikan laporan pertanggungjawaban keuangan.
Budaya hukum dalam lingkup desa adat di Bali terlebih telah berjalan dengan baik dengan adanya produk awig-awig dan pararem sebagai garis haluan dalam menuntun gerak langkah pengurus dan masyarakat desa adat. Bahkan, asas kesetaraan dan kewajaran dalam lingkup desa adat telah terbukti mampu menampilkan keberlangsungan dan eksistensi desa adat hingga saat ini. Pada tatanan masyarakat adatlah, kesetaraan antar-golongan terjadi dan harmonis satu sama lainnya.Â
Tentu tata kelola yang baik berlandaskan pada lima asas GPG tersebut merupakan sebuah jalan menuju atau menjembatani hubungan masyarakat dengan pengurus desanya dan masyarakat dengan sesama mayarakatnya. Adanya pemisahan antara masyarakat sebagai prinsipal dan prajuru sebagai agent memunculkan potensi masalah-masalah keagenan di kemudian hari. Maka, penerapan asas GPG wajib dijalankan oleh prajuru desa adat.
Dalam penerapan GPG ini, tentunya menjadikan pengelolaan keuangan desa adat semakin baik dan bisa diterima oleh krama desa. Pertanggungjawaban yang disajikan menjadi tolok ukur para prajuru desa adat dalam meningkatkan rasa kepercayaan krama desa atas pengelolaan keuangan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagai Lembaga nonprofit, desa adat di Bali mampu menjadi bagian dari sistem pertanggungjawaban desa yang baik dan transparan bagi krama desanya.
Kearifan Lokal Pade Gelahang, Wujud Nilai Anti Korupsi
Sebagai suatu organisasi tradisional masyarakat adat Bali, desa adat tentunya memiliki kedekatan langsung dengan krama desa, karena senantiasa menjunjung tinggi semangat kebersamaan dalam setiap kegiatan yang dilakukan. Meskipun hanya merupakan pemerintahan desa yang sifatnya masih tradisional, tetapi desa adat senantiasa dapat menyiratkan unsur-unsur universal dan mendasar dari organisasi modern.Â
Desa adat menjadi bagian organisasi yang tanggap dengan perkembangan ilmu dan teknologi, maka dari itu desa adat juga mampu mewujudkan citra oganisasi yang akuntabel dalam melaksanakan pengelolaan keuangan dan proses pertanggungjawabannya. Dalam upaya mewujudkan suatu organisasi yang akuntabel, suatu organisasi harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Meskipun hanya merupakan organisasi tradisional dengan lingkup yang kecil, desa adat senantiasa mengontrol kinerjanya agar dapat dipertanggungjawabkan.
Saputra dan Sujana (2019), melakukan penelitian berkaitan dengan penerapan konsep Tri Hita Karana sebagai kearifan lokal dalam pengelolaan dana desa. Dalam penelitian ini ingin diketahui bagaimana perspektif Tri Hita Karana yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal Bali sebagai upaya pencegahan kecurangan pada pengelolaan dana desa.Â
Tujuan utama penyajian pertanggungjawaban kepada krama desa adalah untuk memperkuat unsur akuntabilitas dan transparansi yang disajikan di desa adat. Selain itu, pemahaman prajuru desa akan pembukuan yang masih terbatas, maka dari itu pengurus desa adat senantiasa berusaha menyajikan pertanggungjawaban dalam bentuk yang baik, meskipun tidak mengacu pada standar-standar akuntansi. Sistem pertanggungjawaban keuangan desa adat dibedakan menjadi dua, berdasarkan sumber dananya.
Perbedaan antara kedua jenis laporan pertanggungjawaban yang dibuat oleh desa adat dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangannya. Penyajian laporan pertanggungjawaban yang ditujukan kepada Pemerintah Provinsi Bali atas bantuan yang diberikan bersifat lebih lengkap, lebih rapi dan terstruktur. Sedangkan laporan pertanggungjawaban sumber dana internal dalam pelaksanaan kegiatan desa dibuat dengan lebih sederhana. Kedua jenis pertanggungjawaban keuangan yang berbeda tersebut tidak lantas membuat krama desa menuntut pertanggungjawaban yang lebih dari prajuru desa.Â
Rasa saling percaya yang tinggi membuat krama desa tidak pernah mempermasalahkan pertanggungjawaban yang disajikan oleh pengurus desa. Rasa ini merupakan wujud dari kuatnya budaya lokal Pade Gelahang. Pade Gelahang telah menjadi landasan kuat, disamping Tri Hita Karana.Â
Rasa memiliki bersama, saling menolong dan solidaritas yang tinggi di antara krama desa menjadi gambaran sosial dalam kehidupan desa adat. Dalam praktik akuntabilitas pun, Pade Gelahang muncul dalam setiap insan krama desa, untuk selalu menanamkan dirinya jiwa saling memiliki dan toleransi.
Walaupun dalam penyusunan laporan pertanggungjawaban keuangan desa yang sederhana, prajuru desa senantiasa menjamin akuntabilitas penyajian laporan pertanggungjawaban keuangannya. Terlebih lagi, laporan pertanggungjawaban tersebut akan disampaikan kepada seluruh krama desa dalam suatu sangkep (rapat).
Triyuwono (2012) menyatakan bahwa, konsep akuntabilitas itu sendiri akan terbentuk oleh lingkungannya melalui interaksi sosial yang kompleks (complicated social interaction). Desa adat menciptakan esensi akuntabilitas dan transparansi dengan mempergunakan kearifan lokal yang berkembang. Budaya lokal yang ada di desa adat, dipandang mampu menjadi cermin dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan desa.Â
Sehingga itikad untuk melakukan hal-hal di luar awig-awig dan hasil pararem dapat diminimalisir. Hal ini membuktikan bahwa akuntabilitas memiliki cakupan yang luas, bukan hanya pertanggungjawaban finansial, melainkan pertanggungjawaban yang lebih menekankan pada akuntabilitas intern dan ekstern.
Akuntabilitas merupakan salah satu syarat yang diperlukan agar organisasi dapat mencapai predikat good governance. Lestari (2014) menjelaskan bahwa untuk mendukung terwujudnya good governance perlu adanya pengelolaan keuangan publik secara transparan dengan mendasarkan konsep value for money sehingga tercipta akuntabilitas publik.Â
Demikian halnya dengan desa adat, tanpa disadari pengurus dan seluruh krama desa telah menerapkan keempat syarat good governance yang dijelaskan diatas. Asas transparansi tercermin dari terbukanya pengelolaan keuangan desa adat terhadap seluruh krama desa. Pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan desa adat dijabarkan dan diumumkan kepada krama desa secara keseluruhan dalam suatu rapat khusus yang dilaksanakan dengan agenda pembahasan pertanggunngjawaban pengelolaan keuangan.
Asas kedua yang diperlukan dalam mewujudkan good governance adalah akuntabilitas. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, bahwa akuntabilitas merupakan hal yang telah berhasil diwujudkan dan dijaga dalam kehidupan masyarakat desa adat. Oleh karena itu kepercayaan dalam kehidupan di desa adat selalu tertanam dengan baik.
Asas selanjutnya adalah asas kewajaran atau kesetaraan. Kesetaraan memiliki arti sama, dalam hal ini adalah kesempatan yang sama bagi seluruh bagian organisasi untuk melakukan pengambilan keputusan. Tentunya asas ini sebagai wujud dari kearfian lokal Pade Gelahang yang sudah mendarah daging di setiap kehidupan masyarakat desa adat.Â
Pade Gelahang itu sendiri bermakna "saling memiliki", yang mana kata "pade" berarti saling dan "gelahang" berarti memiliki. Desa adat sebagai organisasi tradisional masyarakat di Bali yang memiliki unsur kebersamaan saling memiliki yang kuat. Setiap masalah senantiasa dipecahkan bersama melalui sistem musyawarah mufakat (pararem desa). Demikian halnya dalam pengambilan sebuah keputusan, seluruh krama desa memiliki hak yang sama untuk memberikan pendapatnya untuk mencapai mufakat, tanpa memandang latar belakang krama itu sendiri.
Pade Gelahang sebagai salah satu landasan budaya lokal yang kuat, sebagai pijakan menjalani kehidupan, juga menjadi pengontrol segala aktivitas masyarakat, karena tanpa kearifan ini mustahil desa adat yang multikultur dapat ajeg (tetap eksis) dan berlanjutan. Sistem kontrol yang diberikan adalah sejauh mana krama desa mampu memaknai konsep Pade Gelahang jika dikaitkan dengan praktik akuntabilitas.Â
Semakin tinggi pemahaman krama, maka kontrol dari kearifan ini dapat dikatakan sukses, dan begitu pula sebaliknya. Rasa kebersamaan, gotong royong, solidaritas dan saling memiliki yang tinggi di antara krama desa telah menjadikan satu ikatan yang kuat antar krama desa dengan prajuru desa, untuk selalu bergerak dalam satu visi dan misi yaitu dalam satu wadah Pade Gelahang.
Nilai Anti Korupsi Pade Gelahang
Istilah korupsi sepertinya tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Di berbagai media massa baik cetak maupun online, istilah korupsi seakan tidak pernah lepas dari kehidupan kita. Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio memiliki arti beragam yakni tindakan merusak atau menghancurkan.
Corruptio juga diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Kata corruptio masuk dalam bahasa Inggris menjadi kata corruption atau dalam bahasa Belanda menjadi corruptie. Kata corruptie dalam bahasa Belanda masuk ke dalam perbendaharaan Indonesia menjadi korupsi (sumber: aclc.kpk.go.id, diakses pada 05 Juli 2024).Â
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menjadi pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Tentunya dengan memahami definisi dan urgensinya pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, dapat dimulai dari hal-hal kecil yang memiliki dampak langsung terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Menanamkan nilai-nilai antikorupsi menjadi salah satu upaya konkrit yang bisa dilakukan.Â
Upaya preventif ini, jauh berdampak dibandingkan upaya koersif. Hal ini dikarenakan, dengan menanamkan jiwa antikorupsi melalui nilai kejujuran dan rasa memiliki, maka dapat menekan pengaruh negatif yang bermuara pada tindakan korupsi.Â
Mengembangkan kembali nilai-nilai kearifan lokal, memiliki peran yang cukup signifikan dalam menumbuhkembangkan nilai antikorupsi. Nilai-nilai kearifan lokal yang adi luhung, dan menjadi landasan hidup masyarakat setempat telah teruji dalam menumbuhkan nilai kejujuran, jiwa saling memiliki dan keterbukaan bersama.
Kearifan lokal Pade Gelahang sebagai nilai antikorupsi, telah eksis berkembang dalam desa adat di Bali tanpa dipahami secara langsung oleh setiap krama desa adat. Hal ini karena terjadi dengan begitu saja, dan menjadi warisan leluhur secara turun temurun sebagai asset nilai dan norma yang menjadi landasan dalam berperilaku. Pade Gelahang mengajarkan akan pentingnya kejujuran dan rasa saling memiliki (kebersamaan).Â
Nilai kearifan lokal ini, telah membangun social culture yang begitu luar biasa di tengah masyarakat desa adat. Pade Gelahang menjadi cerminan bagi krama desa adat dalam bertindak, karena mereka percaya akan "karma" dari segala perbuatan yang dilakukan. Perpaduan kearifan lokal Pade Gelahang, Tri Hita Karana dan hukum Karmaphala, menjadikan bahwa nilai-nilai yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat desa semakin unik dan bernilai tinggi. Kearifan lokal Pade Gelahang juga mengedepankan prinsp Sagilik-saguluk salunglung sabayantaka, paras-paros sarpanaya.Â
Yang mana prinsip yang diimplementasikan oleh krama desa adat ini mengandung makna bersatu padu, saling menghargai, saling menyayangi, dan hidup saling tolong-menolong. Prinsip ini juga mengajarkan pentingnya persatuan, gotong royong dan kejujuran bersama dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai antikorupsi yang terkandung dalam kearifan lokal Pade Gelahang menjadi tumpuan dalam menjalankan pengelolaan keuangan desa bagi desa adat yang ada di Bali. Pertanggungjawaban dengan mengedepankan nilai kearifan lokal telah dipercaya mampu menumbuhkan jiwa saling percaya diantara prajuru desa dengan krama desa.Â
Lewat pararem (rapat desa), semua hasil pengelolaan atas asset dan keuangan desa disampaikan secara transparan dan berimbang kepada seluruh krama desa, dan krama desa pun berkesempatan untuk memberikan tanggapan langsung maupun koreksi jika dirasa ada yang perlu diberikan masukan.Â
Memaknai kearifan lokal Pade Gelahang sebagai nilai budaya antikorupsi, menjadikan desa adat di Bali semakin yakin dan mantap dalam menekan tindak pidana korupsi, karena nilai-nilai Pade Gelahang menumbuhkan jiwa saling memiliki, kebersamaan, keterbukaan, dan tentunya menepis pengaruh negatif lewat karmaphala yang ada. Dengan demikian eksistensi kearifan lokal Pade Gelahang sebagai nilai antikorupsi, telah ada secara turun temurun, yang terus dipegang dan diturunkan oleh krama desa adat di Bali.
REFERENSI
Anonim. 2023. Mengenal Pengertian Korupsi dan Antikorupsi. Tersedia pada www.aclc.kpk.go.id, diakses pada 05 Juli 2024
Budiasih, I.G.A.N. 2014. "Fenomena Akuntabilitas Perpajakan pada Jaman Bali Kuno: Suatu Studi Intepretif". Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol.5, No.3, hlm 409-420.
Field, L. 2017. Business and the Buddha: Doing Well by Doing Good. Penerbit Wisdom Publication. Sommerville, MA
Grossi, G. 2019. Accounting, Performance Management Systems And Accountability Changes In Knowledge-Intensive Public Organizations. Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 33, No. 1, hlm 256--280.
Lestari, Ayu Komang Dewi. 2014. Membedah Akuntabilitas Praktik Pengelolaan Keuangan Desa Pakraman Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali (Sebuah Studi Interpretif pada Organisasi Publik Non Pemerintahan). Skripsi. Tidak diterbitkan. Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
Mardiasmo. 2014. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah (Edisi Revisi). Penerbit Andi. Yogyakarta
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali
Saputra, K. A. K., & Sujana, E. (2019). Perspektif Budaya Lokal Tri Hita Karana Dalam Pencegahan Kecuurangan Dana Desa. Jurnal Ilmiah Akuntansi Universitas Pendidikan Ganesha,Vol.2, No.2, hlm 100-111
Sukerti, N.G. 2017. Perilaku Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Di Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar, Provinsi Bali. Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol. 11, No. 2, hlm 148-155
Tanasal, S., Randa F. & Ng S. 2019. Akuntabilitas Berbasis Metta dan Kamma. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol.10, No.3, hlm 448-467.
Triyuwono, I. 2012. Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi dan Teori. Edisi 2. Penerbit Rajawali Press. Jakarta
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Yulianita, Dewi Ni Wayan. 2018. Akuntabilitas dan Bingkai Filososfis Tri Hita Karana: Suatu Eksplorasi pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Pakraman Dharmajati, Tukadmungga Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Universitas Brawijaya Malang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H