Desa adat merupakan suatu organisasi atau lembaga tradisional kesatuan masyarakat hukum yang mengatur kehidupan masyarakat adat (terdiri atas banjar) yang bersifat sosial, religius serta mandiri yang berada pada suatu wilayah tertentu yang pelaksanaannya diatur berdasarkan awig-awig.Â
Aktivitas yang dilaksanakan oleh desa adat bukan hanya sebatas pengaturan sistem tatanan masyarakat, tetapi juga mengkoordinir kegiatan yang bersifat sosial dan juga kegiatan-kegiatan yang bersifat religius. Hal ini disebabkan karena desa adat merupakan organisasi tradisional yang berlandaskan atas Tri Hita Karana. Hal yang bersifat religius dan spiritual tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan ini termasuk bidang bisnis, karena hal itu akan mengeliminasi antara hal yang bijak dengan ketamakan pada semua makhluk hidup dan lingkungan (Field, 2017).Â
Demikian pula Pertiwi dan Ludigdo (2013) dan Budiasih (2014) menjelaskan bahwa akuntanbilitas dan religius-spiritualitas merupakan satu kesatuan yag tidak dapat dipisahkan.
Sumber-sumber pendapatan desa adat berasal dari internal dan eksternal. Pendapatan dari internal meliputi peturunan (iuran) dari para krama desa (warga desa) dan hasil pengembangan usaha ekonomi produktif desa, meliputi BUMDesa ataupun koperasi desa. Sedangkan sumber pendapatan eksternal berasal dari dana bantuan Pemda. Untuk peturunan yang dibayarkan oleh krama desa tidak ditentukan jangka waktu pembayarannya.Â
Hal ini hanya akan terjadi pada saat dana kas memang sedang membutuhkan tambahan. Peturunan bukanlah sumber satu-satunya kas desa adat, karena sumber-sumber pendapatan internal lain yang berupa ekonomi produktif lewat usaha desa dan koperasi desa. Dalam struktur organisasi desa adat, dikenal istilah Kelian Desa, Penyarikan dan Petengen. Kelian Desa pada desa adat di Bali merupakan kepala desa yang dituakan dan biasanya bersalah dari tokoh adat ataupun tokoh agama.Â
Untuk Penyarikan merupakan sekretaris desa, yang membantu administrasi dan hal lain dalam membantu kelian desa adat. Sedangkan Petengen sendiri merupakan bendahara yang mengelola keuangan desa adat, baik yang bersumber dari internal maupun dari eksternal.
Pada pengelolaan keuangan baik sumber internal dan eksternal, tidak hanya Petengen desa adat saja yang bekerja, tetapi ada juga pihak-pihak yang membantu, misalnya saja Kelihan Desa dan Penyarikan, serta persetujuan penggunaan uang dari krama desa.Â
Kalau hanya dilakukan oleh Petengen, mungkin akan menjadi beban tersendiri dan menyulitkan, bantuan dan pengawasan dari prajuru (perangkat desa) serta krama desa juga perlu dilakukan. Misalnya saja dalam pembuatan Laporan Pertanggungjawaban Anggaran, Kelihan Desa dan Penyarikan juga turut membantu proses penyusunananya.Â
Pengelolaan keuangan pada desa adat ini didasarkan pada proses yang saling terkait dan berkesinambungan. Mengingat keuangan desa adat juga menjadi keuangan yang perlu transparansi dan pertanggungjawaban yang baik. Adapun tiga tahapan utama tersebut, yaitu: (1) tahap penerimaan kas dari berbagai pos pendapatan desa adat yang melibatkan prajuru desa; (2) tahap pengeluaran kas yang digunakan untuk membiayai keperluan, dan (3) tahap pertanggungjawaban penggunaan dana atau kas desa adat selama kurun waktu tertentu.
Sedangkan untuk pengelolaan dana bantuan pemerintah dibagi menjadi beberapa aspek. Adapun program-program yang rutin dilaksanakan oleh desa adat yang mempergunakan dana bantuan dari Pemerintah Provinsi Bali adalah program Ekonomi Produktif (Simpan Pinjam), Dana Operasional Pekaseh, Dana Operasional Prajuru lainnya, Dana Penunjang Administrasi Desa dan Pembangunan Pemeliharaan Kantor Desa.Â
Ekonomi produktif merupakan program yang dicanangkan oleh pemerintah untuk seluruh desa adat yang ada di Bali. Kebijakan program ekonomi produktif ditentukan oleh masing-masing kebutuhan desa adat. Desa adat melaksanakan program ekonomi produktif dengan melaksanakan kegiatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) ataupun melalui pembentukan Koperasi Unit Desa (KUD).Â