Mohon tunggu...
Alexander Batara Marpaung
Alexander Batara Marpaung Mohon Tunggu... Lainnya - Profesional

Senang jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Bisnis Keluarga Tionghoa-Indonesia, Warisan Ketahanan dan Adaptasi

20 November 2024   19:50 Diperbarui: 20 November 2024   20:37 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisnis Keluarga Tionghoa-Indonesia: Warisan Ketahanan dan Adaptasi

By Alexander Batara Marpaung

Kisah bisnis keluarga Tionghoa-Indonesia adalah cerita tentang ketekunan, inovasi, dan kemampuan luar biasa untuk menghadapi lanskap politik dan ekonomi Indonesia yang penuh gejolak. Dari masa awal kemerdekaan hingga era ekonomi global saat ini, keluarga-keluarga ini memainkan peran penting dalam membentuk perekonomian Indonesia sambil menghadapi tantangan terkait identitas, politik, dan komunitas.

Awal yang Sederhana di Republik Baru

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945, orang Tionghoa-Indonesia, yang sebagian besar telah menjadi pedagang dan pengusaha selama beberapa generasi, menemukan diri mereka berada di persimpangan jalan. 

Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, mereka menjadi perantara dalam perekonomian, menempati posisi tengah antara penduduk pribumi dan elite kolonial. Posisi ini memang memberikan peluang ekonomi, tetapi juga memicu ketidakpercayaan dan kecemburuan.

Pada tahun-tahun awal republik, banyak keluarga Tionghoa-Indonesia meletakkan dasar bagi bisnis mereka melalui perdagangan barang pertanian, tekstil, dan kebutuhan pokok. Tulang punggung bisnis ini adalah unit keluarga yang erat, di mana kepercayaan dan berbagi sumber daya menjadi hal utama. Praktik peminjaman informal dan dukungan koperasi dari jaringan keluarga besar membantu bisnis-bisnis ini bertahan di tengah ketidakstabilan nasional dan kebijakan ekonomi yang ketat.

Menghadapi Sentimen Anti-Asing

Era Demokrasi Terpimpin (1957--1965) di bawah Sukarno membawa permusuhan yang meningkat terhadap pengaruh asing, dan bisnis Tionghoa-Indonesia menjadi sasaran utama kebijakan ini. Pembatasan terhadap operasi ritel di pedesaan memaksa banyak keluarga pindah ke pusat kota, di mana mereka beradaptasi dengan mendiversifikasi usaha mereka ke bidang manufaktur, konstruksi, dan jasa.

Pada masa-masa ini, kekuatan kekerabatan dan komunitas menjadi semakin penting. Dengan akses ke lembaga keuangan formal yang terbatas, keluarga-keluarga Tionghoa-Indonesia mengandalkan sistem informal seperti arisan. Jaringan ini berfungsi berdasarkan kepercayaan, memastikan arus modal tetap berjalan meskipun dalam lingkungan yang penuh tantangan.

Orde Baru: Kemakmuran dengan Konsekuensi

Era Orde Baru (1966--1998) di bawah Suharto menandai periode pertumbuhan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi Indonesia---dan bagi bisnis Tionghoa-Indonesia. 

Banyak keluarga membangun konglomerat yang sukses, memperluas usaha mereka ke sektor perbankan, properti, dan infrastruktur. Aliansi strategis dengan rezim memungkinkan bisnis-bisnis ini mendapatkan kontrak pemerintah, menciptakan hubungan simbiosis yang saling menguntungkan.

Namun, kemakmuran ini memiliki konsekuensi. Ketergantungan pada patronase politik membuat bisnis-bisnis tersebut rentan terhadap perubahan kekuasaan. Selain itu, keberhasilan mereka yang mencolok memperbesar sentimen anti-Tionghoa, yang memuncak dalam kerusuhan tahun 1998 selama Krisis Finansial Asia, ketika bisnis dijarah dan nyawa melayang.

Namun, bahkan di masa-masa sulit ini, bisnis Tionghoa-Indonesia tetap tangguh. Mereka terus mengandalkan jaringan mereka, mendiversifikasi investasi, dan mencari peluang di luar perbatasan Indonesia.

Membangun Kembali dan Memodernisasi di Era Reformasi

Kejatuhan Suharto pada tahun 1998 menjadi titik balik. Saat Indonesia bertransisi ke demokrasi, bisnis Tionghoa-Indonesia menghadapi tantangan sekaligus peluang. Untuk menjauhkan diri dari kapitalisme kroni masa lalu, banyak yang mengadopsi transparansi dan manajemen profesional. Generasi muda, yang sering kali menempuh pendidikan di luar negeri, membawa perspektif global dan strategi modern ke dalam bisnis keluarga.

Bisnis-bisnis ini juga mulai berfokus pada keberlanjutan jangka panjang melalui pengelolaan kekayaan. Kantor keluarga dan ekuitas swasta menjadi alat penting untuk melestarikan dan mengembangkan aset mereka. Filantropi juga menjadi jalur untuk memperkuat citra publik mereka, dengan banyak yang berkontribusi pada pendidikan, kesehatan, dan bantuan bencana.

Kunci Keberhasilan: Jaringan, Kredibilitas, dan Adaptasi

Keberhasilan bisnis keluarga Tionghoa-Indonesia yang berkelanjutan dapat diatributkan pada beberapa prinsip inti:

  • Jaringan yang Kuat: Hubungan, baik dalam keluarga maupun lintas diaspora, telah menjadi tulang punggung bisnis Tionghoa-Indonesia. Kepercayaan dan warisan budaya bersama memungkinkan kolaborasi dan pembagian risiko.
  • Diversifikasi: Keluarga-keluarga ini telah lama memahami pentingnya tidak menaruh semua telur dalam satu keranjang. Selama beberapa dekade, mereka bergerak dari perdagangan ke industri seperti properti, keuangan, dan teknologi.
  • Modernisasi: Transisi dari manajemen yang dipimpin keluarga ke kepemimpinan profesional menjadi hal penting untuk beradaptasi dengan pasar global. Generasi muda telah merangkul inovasi, berinvestasi dalam startup dan teknologi digital.
  • Komunitas dan Kredibilitas: Bisnis Tionghoa-Indonesia telah berupaya untuk berintegrasi ke dalam masyarakat Indonesia sambil mempertahankan identitas unik mereka. Upaya ini membutuhkan pengelolaan hubungan yang cermat dengan komunitas lokal dan pemimpin politik.

Menatap Masa Depan

Saat ini, bisnis keluarga Tionghoa-Indonesia menghadapi tantangan baru. Persaingan global, ketidakpastian ekonomi, dan kebutuhan akan perencanaan suksesi antar-generasi menjadi perhatian utama. Namun, seperti yang telah ditunjukkan oleh sejarah, keluarga-keluarga ini memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi.

Pertanyaannya bukan lagi apakah bisnis Tionghoa-Indonesia akan bertahan---mereka telah membuktikan ketangguhannya berkali-kali. Sebaliknya, fokusnya adalah pada bagaimana mereka akan terus tumbuh sambil menghadapi kompleksitas dunia modern yang saling terhubung. 

Akankah mereka semakin terintegrasi dalam tatanan sosial Indonesia? Atau justru akan mereka mengambil peran unik sebagai pemain global dengan akar di Indonesia?

Kesimpulan

Perjalanan bisnis keluarga Tionghoa-Indonesia adalah bukti kekuatan adaptasi, komunitas, dan ketahanan. Dari pedagang kecil di awal republik hingga pemain berpengaruh dalam ekonomi global, mereka secara konsisten mengatasi tantangan untuk berkembang. Warisan mereka bukan hanya tentang keberhasilan ekonomi tetapi juga tentang ketahanan budaya dan inovasi---sebuah cerita yang terus berkembang di setiap generasi.

Referensi:

Brown, C. (2003). A Short History of Indonesia: The Unlikely Nation? Allen & Unwin.

Mackie, J. A. C. (1976). Ethnic Chinese in Indonesia: Issues of Identity. Southeast Asian Studies.

Suryadinata, L. (1997). The Chinese Minority in Indonesia: Seven Papers. Times Academic Press.

Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.

Chua, A. (2003). World on Fire: How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability. Doubleday.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun