Dirimu Tak Mau Mengerti
DN Sarjana
Jumat, pertemuan di halte bus masih terbayang. Aku ada di sebelah kanan kamu berdiri. Kamu pakai celana jean warna biru dengan kaos singlet warna putih. Sampai tulisan di dada bajumu masih ku ingat. Tulisan hitam miring "wait." Kacamata bergagang putih, kelihatan lumayan tebal. Pikirku itu wajar, karena saat berdiripun kamu masih membaca.
Sesekali aku melirikmu. Dan sekali itu pula aku kentara beradu pandang. Aku tersenyum, tapi dirimu pura-pura tersenyum. Aku tahu karena kamu kelihatan cuwek saja. Sesekali rambut pirangmu tersapu angin. Kamu tetap membiarkan. Kamu lebih asik membaca buku itu.
Bus Trans Metro Dewata berwarna merah datang. Sengaja aku naik belakangan biar dapat memperhatikanmu. Disaat naik tangga kedua tubuhmu sedikit bergoyang. Kali ini kamu tak sengaja menggenggam tanganku. Aku biarkan saja. Di wajahmu terbersit keterkejutan
"Maaf Mas. Aku tak sengaja" Kamu sebentar memandangiku, sambil melepas senyum. Sepertinya senyum itu berat tuk ditampilkan.
Akupun berusaha membuatmu tidak tegang dengan melepas senyuman sambil berucap,"Tidak masalah mbak. Aku bernasib baik sempat rasakan pegangan tanganmu." Â Perempuan itu tak membalas. Justru ia seolah memelotiku. Aku sedikit nyesel mengeluarkan kata-kata itu.
Mengambil duduk bersebelahan adalah pilihanku dengan harapan bisa bicara denganmu. Tapi aku salah menduga. Sepertinya aku berdampingan dengan boneka cantik, kamu cuwek saja. Aku hanya mencium wangi tubuhmu. Kamu begitu asyik membaca buku itu. Ternyata sebuah novel.
Apakah aku pantas bertanya lagi ya? Apa sih lebihnya dia dariku? Ah masa bodo. Kalau dia mahasiswa, aku juga mahasiswa, aku menjawab sendiri keberanianku.
"Mbak turun di jalan Sudirman ya? Di depan kampus UNUD? Aku juga turun disana." Ku pikir pertanyaanku rada lucu. Tapi skenario pertanyaan apa yang pantas? Aku merasa kehabisan akal.
"Kalau ya, Mas mau ngapain?" Perempuan itu tumben memandangku. Wajahnya yang cantik makin menggoda. Aku sangat terkejut dengan kata-kata itu. Apa iya perempuan secantik dia mengeluarkannya?
"Ndak sih. Iseng aja nanya." Aku pura-pura tidak penting. Takut mendapat sanggahan yang ketus lagi.
Suasana kembali sunyi, kecuali deru mobil terus melaju. Ternyata sudah masuk jalan Sudirman. Terlihat supermarket Tiara Dewata di kiri jalan. Berselang beberapa menit, mobil Trans Metro Dewata berhentidi utara perempatan jalan.
Kali ini aku yang turun duluan. Suasana kendaraan di jalan Sudirman lumayan ramai. Aku sedikit berlari menyebrang jalan. Tapi, perempuan itu berdiri di pinggir jalan. Rupanya dia ragu menyebarang.
Aku berpikir. Apakah aku pantas menolongnya? Tapi kalau tidak, sepertinya perempuan itu akan kelamaan berdiri di pinggir jalan. "Ah, baiknya aku bantu aja," pikirku. Akupun berbalik menyeberang perempuan itu. Aku berlagak seperti polisi lalu lintas. Sesekali membentangkan tangan menyetop kendaraan. Aku julurkan tangan. Perempuan itu habis akal. Dia pun menggenggam  jemariku.
"Oh, my God. Terimakasih. Kau telah meluluhkan hati perempuan itu hingga  ikhlas memegang jemariku," kata hatiku berbunga-bunga.
Sampai di seberang jalan, perempuan itu buru-buru melepas genggaman. Dia tersenyum seraya berucap "Terimakasih Mas." Dia berjalan ke arah selatan. Rupanya gadis itu kuliahnya di fakultas ekonomi. Sementara aku ngambil kuliah tehnik sipil.
Waktu terus berlalu, tapi tak seirama dengan ingatanku tentang perempuan tadi. Bodinya, senyumnya, kulit putihnya justru tidak mau berlalu. Kuliahku jadi sedikit terganggu.
Syukur dosen yang mengampu mata kuliah struktur beton, sudah mengakhiri kuliahnya. Aku bergegas ke kantin untuk menikmati nasi jinggo. Aku mau duduk agak ke pojok. Aku terkesima. "Ya, ampun, perempuan tadi ada di situ sambil menikmati es buah. Apakah aku berpindah duduk?
"Kamu sudah tadi menunggu? Aku keluarkan pertanyaan sambil duduk berhadapan dengan gadis itu. Jaraknya lumayan jauh. Takut kalau-kalau mengganggu privatisasinya.
Novel di bus tadi, ada digenggaman tangannya. "Kok Mas nanya gitu? Ngaco aja. Emangnya aku nungguin kamu!" Gadis itu lalu meletakan buku novel di atas tas gendong warna pink. Ia keburu menyedot es jus pokat yang dia pesen. Aku terkesima dengan ucapan itu. Aku sadar aku keliru.
Suasana jadi hening. Aku tak berani menjawab. Rupanya gadis ini sangat sensitif. Daripada aku terbawa perasaan bersalah, aku memberanikan diri berucap. "Maaf ya atas kesalahan ucapanku."
Gadis itu diam tak menjawab. Sorot mata tajam seperti mata elang memandangi wajahku. Tak ada tergurat senyum. Tapi dia tetap kelihatan manis. Tangannya mengambil sebuah kertas dan pulpen. Dia kelihatan menggoreskan sesuatu. Aku membiarkan semuanya mengalir dalam keheningan. Aku menikmati es jeruk yang tinggal sedikit.
Hanya sekelebat waktu aku abai, perempuan itu sudah tidak ada di seputaran meja kantin ku duduk. Aku menoleh keberbagai sudut. Ternyata perempuan itu sudah melangkah jauh. Ingin aku mengejarnya. Tapi pasti aku terlambat. Perempuan itu berdiri di halte bus. Aku sempat melirik di atas mejanya. Masih tersisa selembar kertas. Mungkin kertas itu yang baru san ditulisi. Tapi kenapa ia tinggalkan?
"Bagaimana aku membawakan gadis itu? Dia sudah naik bus. Terus aku apakan kertas ini? Apa dibiarkan tergeletak di meja itu?" Pikiranku berkecamuk. Keputusanku kali ini harus tegas. Aku ambi saja kertas itu, dan sempatkan membaca. Aku deg-degan. Baris pertama telah membuat hatiku bergetar.
"Untuk lelaki ganteng yang ku jumpai di bus. Aku menyesal mengenalmu. Wajahmu ganteng dan memberi harapan mengobati luka hatiku. Sama saja kamu seperti lelaki lain. Angkuh. Harus dihargai saja. Tak punya perasaan. Pernahkah kau sadari perempuan itu lembut, pemalu, dan perasaannya sensitif. Mengapa kau biarkan harapanku tidak berlabuh padamu. Selamat tinggal. Dari aku, Gendis."
Tanganku sedikit bergetar. Hatiku terguncang. Perasaan bersalah, menyesal berkecamuk. Mengapa aku tak paham semua isyarat yang telah diberikan oleh perempuan yang konon namanya Gendis? Apakah aku benar lelaki yang angkuh?
Aku meninggalkan kantin penuh penyesalan. Langkahku terasa ringan. Pikiranku nelangsa. Paras Gendis yang lembut dan manis terus membayangi.
"Apakah aku harus mencari Gendis. Tapi di mana aku bisa menemukannya? Aku merenung duduk di halte bus. Ternyata Gendis perempuan manis kan menjadi misteri dalam hidupku? Mungkin ini kata orang "Kadang kita tak mampu memutar waktu. Yang lalu harus ikhlas biarkan berlalu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H