Mohon tunggu...
I Dewa Nyoman Sarjana
I Dewa Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - profesi guru dan juga penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

hobi membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dirimu Tak Mau Mengerti

21 Maret 2024   20:39 Diperbarui: 21 Maret 2024   20:53 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana jadi hening. Aku tak berani menjawab. Rupanya gadis ini sangat sensitif. Daripada aku terbawa perasaan bersalah, aku memberanikan diri berucap. "Maaf ya atas kesalahan ucapanku."

Gadis itu diam tak menjawab. Sorot mata tajam seperti mata elang memandangi wajahku. Tak ada tergurat senyum. Tapi dia tetap kelihatan manis. Tangannya mengambil sebuah kertas dan pulpen. Dia kelihatan menggoreskan sesuatu. Aku membiarkan semuanya mengalir dalam keheningan. Aku menikmati es jeruk yang tinggal sedikit.

Hanya sekelebat waktu aku abai, perempuan itu sudah tidak ada di seputaran meja kantin ku duduk. Aku menoleh keberbagai sudut. Ternyata perempuan itu sudah melangkah jauh. Ingin aku mengejarnya. Tapi pasti aku terlambat. Perempuan itu berdiri di halte bus. Aku sempat melirik di atas mejanya. Masih tersisa selembar kertas. Mungkin kertas itu yang baru san ditulisi. Tapi kenapa ia tinggalkan?

"Bagaimana aku membawakan gadis itu? Dia sudah naik bus. Terus aku apakan kertas ini? Apa dibiarkan tergeletak di meja itu?" Pikiranku berkecamuk. Keputusanku kali ini harus tegas. Aku ambi saja kertas itu, dan sempatkan membaca. Aku deg-degan. Baris pertama telah membuat hatiku bergetar.

"Untuk lelaki ganteng yang ku jumpai di bus. Aku menyesal mengenalmu. Wajahmu ganteng dan memberi harapan mengobati luka hatiku. Sama saja kamu seperti lelaki lain. Angkuh. Harus dihargai saja. Tak punya perasaan. Pernahkah kau sadari perempuan itu lembut, pemalu, dan perasaannya sensitif. Mengapa kau biarkan harapanku tidak berlabuh padamu. Selamat tinggal. Dari aku, Gendis."

Tanganku sedikit bergetar. Hatiku terguncang. Perasaan bersalah, menyesal berkecamuk. Mengapa aku tak paham semua isyarat yang telah diberikan oleh perempuan yang konon namanya Gendis? Apakah aku benar lelaki yang angkuh?

Aku meninggalkan kantin penuh penyesalan. Langkahku terasa ringan. Pikiranku nelangsa. Paras Gendis yang lembut dan manis terus membayangi.

"Apakah aku harus mencari Gendis. Tapi di mana aku bisa menemukannya? Aku merenung duduk di halte bus. Ternyata Gendis perempuan manis kan menjadi misteri dalam hidupku? Mungkin ini kata orang "Kadang kita tak mampu memutar waktu. Yang lalu harus ikhlas biarkan berlalu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun