Cahaya di Bulan Ramadhan
DN Sarjana
"Maafkan Aku harus jauh darimu Suci. Kita tak kan bisa merawat anak kita untuk masa depan mereka." Kata Farhan memelas dihadapan istrinya. Farhan sudah lama meminta kepada Suci untuk bekerja di luar negeri, tapi selalu dilarang oleh istrinya.
Sambil menghidangkan wedang jae, Suci duduk di  samping Farhan. "Pa, sudah beberapa kali Papa minta kepadaku. Aku mengerti akan kegelisahanmu tentang masa depan anak kita. Tapi hidup ini bukan kita yang menentukan. Kita hanya bisa berusaha Farhan!", ucap Suci sambil memegangi tangan suaminya.
Begitulah pembicaraan serius pasangan yang baru menjalin rumah tangga. Farhan dan Suci yang tinggal di Desa Ciganjur menjalani hidup mandiri di desa bersama buah hatinya yang baru berumur dua tahun.
Di malam pertama Ramadan, Farhan duduk di teras rumahnya. Ia menikmati hembusan angin yang sejuk. Disertai kehadiran sinar rembulan di celah dedaunan yang menerangi langit. Sayup-sayup terdengar suara azan berkumandang.
Farhan teringat pada masa lalu, masa empat tahun saat pertama ia bertemu dengan gadis desa yang lugu. Pertemuan pertamanya dengan Suci tetangga tidak jauh dari rumahnya. Farhan dan Suci bertemu di masjid pada malam pertama Ramadan.
Antara Farhan dan Suci memang sempat berpisah cukup lama, karena orang tua Suci berpindah tugas sebagai guru di luar Kabupaten. Sementara orang tua Farhan seorang manteri yang ditugaskan di Desa Ciganjur.
Saat SMA, orang tua Suci memasuki masa pensiun. Mereka kemudian pulang kampung. Suci yang masih remaja mengikuti orang tuanya. Sementara dua orang kakaknya yang sudah berkeluarga berpencar. Â Ada tinggal di Jakarta dan satu lagi di Bandung.
Farhan masih ingat hubungannya dengan Suci semakin dekat dan tumbuh benih-benih cinta saat ia menawarkan untuk mengantar Suci pulang setelah shalat tarawih, dan dari situlah hubungan mereka mulai terus bersemi.
"Pa, tidur dulu. Jaga Rido tidur. Aku mempersiapkan untuk sahur nanti." Farhan dikejutkan oleh suara istrinya. Ia bergegas mendekat dan masuk kamar. Farhan masih sempat memberi ciuman hangat istrinya sebelum ditinggal ke dapur.
Malam buka puasa tiba. Farhan dan Suci bergegas menyiapkan hidangan di bilik kecil emperan, tempat mereka biasa makan bersama. Sementara putra semata wayang Rido, sedang lelap tidur.
Farhan menyembunyikan kegembiraan pada istrinya. Ia ingin memberikan kejutan di bulan Ramadhan. Farhan sudah diterima bekerja diperusahan peternakan ayam yang ada di daerahnya. Jaraknya sekitar 15 kilometer. Farhan diterima sebagai pengawas pakan ternak sesuai dengan keahliannya. Farhan memang tamatan Insinyur peternakan.
"Pa, kita doa dulu ya, sebelum buka puasa. Semoga kita selalu diberikan berkah.", kata Suci. Merekapun menikmati buka puasa dengan hidangan seadanya.
Ketika bulan Ramadhan seperti ini, Suci dapat merasakan beban yang dialami suaminya. Ia pasti malu hanya mengandalkan gaji Suci sebagai guru P3K. Namun, cahaya bulan Ramadan memberinya kekuatan. Setiap malam, Suci berdoa agar cinta mereka tetap kuat meskipun hidup seadanya.
Seminggu menjelang malam terakhir Ramadan, Farhan memanggil istrinya untuk duduk bersama di teras rumah. seperti biasa. Sambil menikmati sinar rembulan, kelihatan Farhan senyum-senyum. Ia kemudian menyodorkan selembar kertas kepada istrinya.
"Amplop apa ini Pa?" Suci merasa ragu.
"Silahkan dibaca Ma."
Suci lalu membaca surat yang isinya pemanggilan  Farhan suaminya bisa diterima bekerja diperusahan peternakan.
"Ya, Tuhan begitu besar rahmatMu kepada kami." Gumam suci. Bibirnya sedikit bergetar.
Suci lalu memeluk Farhan erat-erat. Tidak terasa air mata bahagia meleleh di pipinya.
Dalam kehangatan pelukan itu, Suci menyadari bahwa cinta mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga tumbuh lebih kuat di bawah cahaya bulan suci Ramadhan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI