Mohon tunggu...
I Dewa Nyoman Sarjana
I Dewa Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - profesi guru dan juga penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

hobi membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Panggil Daku Guru

27 Februari 2024   20:21 Diperbarui: 27 Februari 2024   20:31 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


PANGGIL DAKU GURU
DN Sarjana

Setiap pagi Yunita harus menaiki perahu untuk bisa sampai ditempat tujuan. Sebuah tas ransel, ....tempat nasi, selalu setia menemani. Ia tidak mesti rapi saat berangkat karena angin dan juga air sering masuk ke dalam perahu. Pastinya rambut akan acak-acakan dan pakaianpun sering basah karena cipratan air sungai.

Ia tidak sendirian di perahu itu. Tiga sampai lima anak sering berbarengan diajak berangkat. Itu yang Yunita jalani setiap hari. Tidak peduli apakah hujan atau panas menyengat.

Yunita seorang perempuan dengan ikhlas dan sukarela mengabdikan dirinya sebagai guru P3K di daerah pesisir Kalimantan. Sekolah yang terpaksa didirikan di atas sungai karena tidak memiliki daratan. Bangunannya sangat sederhana dengan balok dan papan kayu.

Hari itu Yunita hampir terlambat beserta tiga anak yang ada dalam prahu klotok. Ombak yang lumayan besar membuat perahu jalan agak pelan.  Mereka sedikit berlari menuju sekolah.
"Ayo anak-anak, kita sedikit berlari. Biar tidak terlambat mengikuti upacara bemdera," ucap Bu Yunita agak keras.

"Ayoo...bu...," anak-anak serentak menjawab dan berlari kecil dengan Bu Yunita.

Kebetulan hari ini hari yang istimewa bagi Yunita dan dua teman guru lain yang bertugas karena bertepatan dengan hari guru yang jatuh setiap tanggal 25 Nopember.

Lebih istimewa lagi Bu Yunita diberikan kesempatan sebagai pembina upacara oleh Bapak Kepala Sekolah sebagi bentuk penghargaan karena tahun ini juga Bu Yunita diangkat menjadi guru P3K, setelah 5 tahun mengabdi.

"Mengheningkan cipta mulai...," suara Yunita tegas tapi terdengar sejuk. Semua peserta upacara menundukan kepala. Termasuk Bapak Kepala Sekolah. Jalannya upacara lancar sampai berakhir. Ini pengalaman pertama Yunita sebagai pembina upacara.

Anak-anak berlarian. Hampir semua masuk kelas. Hampir bersamaan, mereka keluar dan ditangannya memegang bingkisan. Ada banyak siswa yang memegang seikat bunga. Mereka lelihatan bahagia menemui guru mereka, sambil memberikan bingkisan.

"Ini buat ibu. Hanya setangkai bunga mawar," kata Widia siswa kelas lima. Wajahnya sedikit bersedih.

Sambil membungkuk Bu Yunita mengambil bunga itu dan berucap. "Terimakasih nak Widia. Ibu senang sekali bunga pemberianmu. Itu bunga kesukaan ibu."

"Tapi Widia merasa sedih tak bisa memberikan ibu apa-apa. Orang tuaku tak punya uang." Widia menunduk berucap.

Bu Yunita menatap dan membelai rambut Widia. "Nak Widia. Kamu jangan bersedih. Pemberian bunga ini sudah lebih dari cukup. Percayalah ibu bahagia atas pemberianmu."

Bu Yunita, berbalik memberikan Widia bingkisan kepada Widia. Selanjutnya mereka masuk kelas kerena jam belajar sudah dimulai. Namun hanya sesaat, anak-anak dipulangkan, agar para guru bisa menikmati ulang tahun guru di rumah.
                         *****
Dua harinya bertepatan dengan hari senin. Anak-anak sekolah seperti biasa. Mereka dengan tertib belajar. Tapi anak-anak kelas lima merasa bersedih karena ibu Yunita tidak sekolah. Yunita menjadi guru kelas sekaligus wali kelas di kelas lima.

"Kemana ya Ibu Yuni ya?" Tanya Hengky. Walau dia siswa yang sering merepotkan karena suka jahil dengan temannya, namun rupanya ia memberi perhatian kepada Ibu Yunita.

"Kata Bapak Kepala Sekolah ibu guru sakit," sahut Widia. Mereka semua kelihatan sedih, sambil mengerjakan tugas yang diberikan.

Pulang sekolah, Widia langsung menuju rumah kos Bu Yunita. Ia berjalan kaki cukup jauh. Sesampai di rumah, didapatinya beberapa teman Bu Yunita dari sekolah lain sudah di sana.

Widia minta ijin biar bisa masuk ke kamar Bu Yunita. Sampai d dalam, Widia melihat Ibu Yunita berbaring. Wajahnya sedikit pucat. Badan dan pandangan matanya terlihat lemah.

Widia dengan keberanian memegang tangan ibu gurunya. Air matanya nampak bergulir. Widia berucap. "Ibu..., Ibu jangan sakit ya, jangan sakit bu...Siapa yang akan mengajari kami?" Widia menangis sesenggukan.

Widia tak henti-henti memijat jemari Bu Yunita. Ia merasakan tangan Bu Yunita dingin dan begitu lemas. Sesekali juga  Widia mengusap pipinya. Ia tidak ingin ibu Yunita melihatnya bersedih.

"Bu Yuni, besok Widia sorean kesini. Widia harus sekolah dulu. Nanti Widia bawain buah pepaya kesukaan ibu. Kebetulan ada yang sudah matang di kebun," Widia berusaha merayu Bu Yunita.

Benar saja senyum Bu Yunita sedikit mengembang. Ia pun berusaha menggenggam jemari Widia muridnya. Bu Widia kelihatan tak ingin mengecewakan muridnya.  Widia pun menunjukan wajah yang bahagia.

"Ibu, Widia pamit dulu ya. Widia harus menyetrika pakaian untuk sekolah besok. Ibu harus sembuh ya. Teman-teman pasti menunggu kehadiran ibu disekolah."

Dengan perasaan sedih, Widia meninggalkan Ibu Guru Yunita. Dia tidak tega melihat gurunya lemah di atas kasur. Sesekali bayangan ibu guru yang periang dan memberi kasih sayang mengalami sakit seperti itu.

******
Senin, 24 Nopember
Seperti biasa suasana sekolah sangat ramai. Hari itu upacara bendera ditiadakan karena sekalian akan dilaksanakan tanggal 25 Nopember bertepatan dengan hari guru.

Diantara ratusan siswa, tampak Widia beserta teman-teman kelas lima, tidak seriang siswa kelas lainnya. Mereka pasti bersedih karena Bu Yunita guru kelasnya masih tidak bisa hadir.

"Wid, katanya kamu dapat kerumah Ibu Yunita. Bagaimana keadaan Ibu?" Jafar bertanya terkesan sangat serius.

"Ya, bener, gimana keadaan ibu guru Wid?" Viona menimpali bertanya.

Widia berusaha menutupi keadaan Ibu Yunita. "Bu guru baik-baik teman-teman. Cuman beliau perlu istirahat."

Jawaban pendek Widia, tentu menimbulkan kecurigaan.
"Teman-teman, besok aku kerumah Bu Yunita lagi. Kalau ada yang nitip sesuatu silahkan dibawa besok ya. Tapi jangan yang berat-berat."

Selasa, 25 Nopember
Sepulang sekolah, Widia bergegas mempersiapkan barang dan ada juga uang titipan dari teman-temannya. Kebetulan hari ini siswa dipulangkan lebih awal karena peringatan hari guru. Widia ingat akan janjinya, membawakan buah pepaya buat Ibu Yunita. Setelah semua siap, Widia berjalan kaki menuju rumah Bu Yunita.

Kurang lebih empat puluh menit, Widia sudah sampai di rumah kos Bu Yunita. Ada rasa curiga yang menggelayuti perasaan Widia. Dia tidak melihat satu orangpun kerabat Bu Yunita kelihatan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Terlihat di kamar kos nomer dua ada seorang ibu. Ia memberanikan diri bertanya.

"Bu..., mau nanya. Bu Yunita ada di kamar ya,?

"Rupanya tidak nak. Tadi ibu lihat ada ambulan membawa keluar. Pasti ibunya diajak berobat."

Mendengar ucapan tersebut, jantung Widia terasa berdegup. Badannya terasa bergetar karena sedih mendalam menyelimuti.

"Terimakasih buk. Saya mohon ijin menaruh titipan teman di depan kamar Bu Yunita."

Widia melangkah menuju kamar Bu Yunita. Dia melihat sekelilingnya, sambil melihat tempat menaruh titipan teman-temannya. Widia curiga ada selembar kertas warna putih di samping pintu. Widia mengamati dengan seksama. Winda yakin itu surat. Setelah ia buka benar saja surat dari Bu Yunita.

Widia bergegas membuka lalu membaca.
"Buat Anakku Widia."
'Ibu yakin nanda akan datang hari ini. Ibu tidak ingin mengecewakanmu. Maka ibu menyuruh ibu Mirzan menuliskan surat ini."
"Maafkan ibu akan lama tidak bertemu dengan nanda dan teman-teman karena ibu harus berobat ke Makasar. Ibu harus mencari rumah sakit yang besar agar pengobatan ibu maksimal."
"Percayalah, ibu pasti sembuh dan bisa bermain bersama dengan Winda dan teman-teman."
"Sampaikan salam Ibu kepada teman-teman semua."
"Dari Ibumu, YUNITA."

Sampai disitu Winda tak tahan lagi. Ia menjerit histeris. Tangisnya membuat Ibu Mirzan berlari mendekati. Bu Mirzan memapah Winda dan memberinya minum.

Panggil Aku Guru, itu pesan terakhir yang terngiang di pikiran Winda. Malam itu, mata Winda lama tiada terpejam. Dia tak henti-henti lantunkan doa untuk kesembuhan Bu Yunita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun