"Bu..., mau nanya. Bu Yunita ada di kamar ya,?
"Rupanya tidak nak. Tadi ibu lihat ada ambulan membawa keluar. Pasti ibunya diajak berobat."
Mendengar ucapan tersebut, jantung Widia terasa berdegup. Badannya terasa bergetar karena sedih mendalam menyelimuti.
"Terimakasih buk. Saya mohon ijin menaruh titipan teman di depan kamar Bu Yunita."
Widia melangkah menuju kamar Bu Yunita. Dia melihat sekelilingnya, sambil melihat tempat menaruh titipan teman-temannya. Widia curiga ada selembar kertas warna putih di samping pintu. Widia mengamati dengan seksama. Winda yakin itu surat. Setelah ia buka benar saja surat dari Bu Yunita.
Widia bergegas membuka lalu membaca.
"Buat Anakku Widia."
'Ibu yakin nanda akan datang hari ini. Ibu tidak ingin mengecewakanmu. Maka ibu menyuruh ibu Mirzan menuliskan surat ini."
"Maafkan ibu akan lama tidak bertemu dengan nanda dan teman-teman karena ibu harus berobat ke Makasar. Ibu harus mencari rumah sakit yang besar agar pengobatan ibu maksimal."
"Percayalah, ibu pasti sembuh dan bisa bermain bersama dengan Winda dan teman-teman."
"Sampaikan salam Ibu kepada teman-teman semua."
"Dari Ibumu, YUNITA."
Sampai disitu Winda tak tahan lagi. Ia menjerit histeris. Tangisnya membuat Ibu Mirzan berlari mendekati. Bu Mirzan memapah Winda dan memberinya minum.
Panggil Aku Guru, itu pesan terakhir yang terngiang di pikiran Winda. Malam itu, mata Winda lama tiada terpejam. Dia tak henti-henti lantunkan doa untuk kesembuhan Bu Yunita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H