Mohon tunggu...
I Dewa Nyoman Sarjana
I Dewa Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - profesi guru dan juga penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

hobi membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Panggil Daku Guru

27 Februari 2024   20:21 Diperbarui: 27 Februari 2024   20:31 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Sambil membungkuk Bu Yunita mengambil bunga itu dan berucap. "Terimakasih nak Widia. Ibu senang sekali bunga pemberianmu. Itu bunga kesukaan ibu."

"Tapi Widia merasa sedih tak bisa memberikan ibu apa-apa. Orang tuaku tak punya uang." Widia menunduk berucap.

Bu Yunita menatap dan membelai rambut Widia. "Nak Widia. Kamu jangan bersedih. Pemberian bunga ini sudah lebih dari cukup. Percayalah ibu bahagia atas pemberianmu."

Bu Yunita, berbalik memberikan Widia bingkisan kepada Widia. Selanjutnya mereka masuk kelas kerena jam belajar sudah dimulai. Namun hanya sesaat, anak-anak dipulangkan, agar para guru bisa menikmati ulang tahun guru di rumah.
                         *****
Dua harinya bertepatan dengan hari senin. Anak-anak sekolah seperti biasa. Mereka dengan tertib belajar. Tapi anak-anak kelas lima merasa bersedih karena ibu Yunita tidak sekolah. Yunita menjadi guru kelas sekaligus wali kelas di kelas lima.

"Kemana ya Ibu Yuni ya?" Tanya Hengky. Walau dia siswa yang sering merepotkan karena suka jahil dengan temannya, namun rupanya ia memberi perhatian kepada Ibu Yunita.

"Kata Bapak Kepala Sekolah ibu guru sakit," sahut Widia. Mereka semua kelihatan sedih, sambil mengerjakan tugas yang diberikan.

Pulang sekolah, Widia langsung menuju rumah kos Bu Yunita. Ia berjalan kaki cukup jauh. Sesampai di rumah, didapatinya beberapa teman Bu Yunita dari sekolah lain sudah di sana.

Widia minta ijin biar bisa masuk ke kamar Bu Yunita. Sampai d dalam, Widia melihat Ibu Yunita berbaring. Wajahnya sedikit pucat. Badan dan pandangan matanya terlihat lemah.

Widia dengan keberanian memegang tangan ibu gurunya. Air matanya nampak bergulir. Widia berucap. "Ibu..., Ibu jangan sakit ya, jangan sakit bu...Siapa yang akan mengajari kami?" Widia menangis sesenggukan.

Widia tak henti-henti memijat jemari Bu Yunita. Ia merasakan tangan Bu Yunita dingin dan begitu lemas. Sesekali juga  Widia mengusap pipinya. Ia tidak ingin ibu Yunita melihatnya bersedih.

"Bu Yuni, besok Widia sorean kesini. Widia harus sekolah dulu. Nanti Widia bawain buah pepaya kesukaan ibu. Kebetulan ada yang sudah matang di kebun," Widia berusaha merayu Bu Yunita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun