PEREMPUAN ITU IBUKU
DN Sarjana
"Mas, ini bukan soal pilihan. Dari pada Mas memisahkan ibuku dengan mencarikan rumah kontrak, lebih baik aku berpisah dengan Mas. Biarlah nasib saya sama dengan nasib ibuku".
Ucapan itu memojokkan Mas Deni dalam situasi yang serba sulit. Benar kata istrinya. Bukan pilihan. Tapi bagaimana aku bisa menerima situasi dimana mertuaku sedang mengalami konik rumah tangga? Sementara aku harus memikirkan keberlangsungan keluarga kecilku biar aman dan damai, pikirnya.
Selama ini keluarga Deni berjalan baik baik saja. Ia dengan istrinya Rina, sudah melangsungkan perkawinan lima tahun lalu, hingga lahir seorang anak laki-laki berparas ganteng. Situasi rumah tangga sedikit terganggu setelah ibu Leli berpisah dengan suaminya, karena tergoda perempuan lain.
Peristiwa itu terjadi empat bulan lalu. Saat ibu merapikan baju bapak yang akan dicuci, dia menemukan barang yang mencurigakan. Ibu berusaha untuk menahan diri. Andai saja bapak tidak sering telat pulang kerja, dan sering bilang meeting keluar daerah, mungkin ibu masih bisa bertahan. Bak menyembunyikan bau busuk, akan tercium juga. Itulah yang menimpa ayah. Hingga suatu saat, ayah bilang dinas keluar kota. Saat itu ibu melayani dua adikku akan berangkat sekolah, telpon rumah berdering beberapa kali. Ibu tidak mengacuhkan karena dia memastikan biar anak-anaknya berangkat sekolah.
"Selamat pagi". Suara perempuan terdengar di telpon. Ibu berusaha menahan diri. Dia biarkan jeda sesaat untuk tidak menjawab. Ditahannya gejolak hati yang mulai curiga.
"Selamat pagi buk. Ini dari siapa?. Saya pembantu bapak. Bapak lagi keluar daerah". Ibu Leli berusaha memancing perempuan itu.
"Aku yang mengantar bapak keluar daerah. Aku sedang menunggu di bandara. Tolong beritahu aku sudah di bandara!".
Sambil menahan rasa sesak, Ibu Leli berusaha menjawab dengan tenang. "Maaf saya panggil ibu. Ibu apanya dari bapak?"
"Saya sekretaris pribadi bapak. Saya single bu. Belum nikah".
Perasaan ibu Leli makin gundah. "Maaf aku memanggil ibu. Apakah sekretaris harus ikut berangkat?"
"Ya, memang sering buk. Biasanya bapak kalau meeting, kerjanya banyak. Beliau harus siap, soal pakaian dan perlengkapan lainnya".
"O, begitu. Bapak sudah berangkat. Terimakasih infonya". Ibu Leli menaruh gagang telpon sembarang, hingga suaranya braak... Mungkin perempuan sebelah mendengar suara itu.
Dalam kekalutan, ibu Leli tidak mau emosi menjatuhkan martabat suaminya. Ia harus bersabar sampai suaminya datang dari luar daerah. Selama dua hari Leli memikirkan apa jalan terbaik agar prahara rumah tangganya tidak terjadi. Masalahnya bukan semata soal suami istri. Tapi dia lebih memikirkan dua anaknya yang perlu perhatian, kasih sayang orang tua. Ibu Leli tidak ingin anaknya tersesat kehidupannya, gara-gara dia salah mengambil keputusan.
Hari dinanti tiba. Suami Bu Leli sudah berada di tengah keluarga. Ibu Leli menyambut dalam suasana dingin. Ia ingin menunjukan sedikit kekecewaan pada suaminya. Dalam suasana santai sehabis minum kopi, Ibu Leli memancing kejujuran suaminya.
"Pa, apakah setiap meeting keluar daerah harus mengajak sekretaris ya?" , Leli bertanya pada suaminya.
"Tidak mesti. Dia kan sekretaris kantor. Tidak baik kalau diajak keluar", sahut suaminya. Mukanya sedikit memerah. Dia merasa istrinya ada kecurigaan.
"Dua hari lalu ada suara perempuan yang menelpon. Dia bilang sekretaris bapak. Sebelumnya aku juga menemukan barang-barang untuk perempuan. Dan itu tidak pernah kuterima. Bapak kasi siapa? Ayo jujur!"
Suami Bu Leli gelagapan. Tangannya salah tingkah menggosok rambutnya. Tak sepatah katapun bisa keluar.
"Pa, dari pada bertengkar, aku mohon pamit. Aku tidak ingin terjadi keributan. Kita sama-sama menjaga anak kita. Biarkan aku pergi. Bapak tenang saja. Aku tidak mencari jalan pintas. Aku sayang sama anak-anak.
Pertama yang dilakukan Ibu Leli sebelum pergi dari rumah adalah meyakinkan kepada anaknya bahwa ibunya akan menengok kakaknya. Berbagai alasan dia sampaikan. Syukur anak-anak bisa memahami.
Mulai saat itulah Ibu Leli mewarnai kehidupan rumah tangga Deni. Kurang lebih sudah empat bulan. Sebagai seorang ibu, pekerjaan dapur, bersih-bersih dan utamanya memomong cucu, tentu pekerjaan biasa. Ia sangat bahagia bisa lama bersama cucunya.
Hingga suatu hari istri Mas Deni meyakinkan suaminya. "Mas, selama empat bulan, aku menjalin komunikasi dengan bapak. Dia tidak ingin perpisahan berujung perceraian. Katanya liburan sekolah nanti, ayah akan mengajak adik-adikku menjemput mama, sambil meyakinkan mama, bahwa bapak tidak sejahat yang mama duga".
"O, ya. Baguslah. Aku juga ingin yang terbaik. Keluarga kita biar selalu rukun".
"Mas juga ikut merayu ya, biar ibu mau baikan sama bapak. Aku kasihan sama adik-adikku. Dia masih membutuhkan kasih sayang dari orang tua". Mas Deni menganggungkan kepalanya.
"Aku minta maaf Mas Deni. Selama ini kita sedikit berselisih tentang ibu, sampai aku berkata agak keras. Dia ibuku. Tidak mungkin aku bisa menelantarkan ibu. Aku dan adik-adik terlahir dari rahim ibuku". Rina meneteskan air mata sambil memegang tangan suaminya.
"Aku juga minta maat istriku. Apa yang kau katakan memang benar. Sebesar apapun kasih sayang yang kita berikan kepada ibu, tidaklah cukup, karena kita semua lahir dari rahim seorang ibu". Terang Mas Deni.
"Ini sudah malam ma. Kita tidur dulu. Rina mendekap suaminya. "Perempuan itu Ibuku", kata-kata yang dia ucapkan, terbawa dalam dekapan malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H