Hingga suatu hari istri Mas Deni meyakinkan suaminya. "Mas, selama empat bulan, aku menjalin komunikasi dengan bapak. Dia tidak ingin perpisahan berujung perceraian. Katanya liburan sekolah nanti, ayah akan mengajak adik-adikku menjemput mama, sambil meyakinkan mama, bahwa bapak tidak sejahat yang mama duga".
"O, ya. Baguslah. Aku juga ingin yang terbaik. Keluarga kita biar selalu rukun".
"Mas juga ikut merayu ya, biar ibu mau baikan sama bapak. Aku kasihan sama adik-adikku. Dia masih membutuhkan kasih sayang dari orang tua". Mas Deni menganggungkan kepalanya.
"Aku minta maaf Mas Deni. Selama ini kita sedikit berselisih tentang ibu, sampai aku berkata agak keras. Dia ibuku. Tidak mungkin aku bisa menelantarkan ibu. Aku dan adik-adik terlahir dari rahim ibuku". Rina meneteskan air mata sambil memegang tangan suaminya.
"Aku juga minta maat istriku. Apa yang kau katakan memang benar. Sebesar apapun kasih sayang yang kita berikan kepada ibu, tidaklah cukup, karena kita semua lahir dari rahim seorang ibu". Terang Mas Deni.
"Ini sudah malam ma. Kita tidur dulu. Rina mendekap suaminya. "Perempuan itu Ibuku", kata-kata yang dia ucapkan, terbawa dalam dekapan malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H