#Refleksi_hari_guru
PANGGIL DAKU GURU (2)
DN Sarjana
Widia tak henti-henti memijat jemari Bu Yunita. Ia merasakan tangan Bu Yunita dingin dan begitu lemas. Sesekali juga Widia mengusap pipinya. Ia tidak ingin ibu Yunita melihatnya bersedih.
"Bu Yuni, besok Widia sorean kesini. Widia harus sekolah dulu. Nanti Widia bawain buah pepaya kesukaan ibu. Kebetulan ada yang sudah matang di kebun," Widia berusaha merayu Bu Yunita.
Benar saja senyum Bu Yunita sedikit mengembang. Ia pun berusaha menggenggam jemari Widia muridnya. Bu Widia kelihatan tak ingin mengecewakan muridnya. Widia pun menunjukan wajah yang bahagia.
"Ibu, Widia pamit dulu ya. Widia harus menyetrika pakaian untuk sekolah besok. Ibu harus sembuh ya. Teman-teman pasti menunggu kehadiran ibu disekolah."
Dengan perasaan sedih, Widia meninggalkan Ibu Guru Yunita. Dia tidak tega melihat gurunya lemah di atas kasur. Sesekali bayangan ibu guru yang periang dan memberi kasih sayang mengalami sakit seperti itu.
******
Senin, 24 Nopember
Seperti biasa suasana sekolah sangat ramai. Hari itu upacara bendera ditiadakan karena sekalian akan dilaksanakan tanggal 25 Nopember bertepatan dengan hari guru.
Diantara ratusan siswa, tampak Widia beserta teman-teman kelas lima, tidak seriang siswa kelas lainnya. Mereka pasti bersedih karena Bu Yunita guru kelasnya masih tidak bisa hadir.
"Wid, katanya kamu dapat kerumah Ibu Yunita. Bagaimana keadaan Ibu?" Jafar bertanya terkesan sangat serius.
"Ya, bener, gimana keadaan ibu guru Wid?" Viona menimpali bertanya.
Widia berusaha menutupi keadaan Ibu Yunita. "Bu guru baik-baik teman-teman. Cuman beliau perlu istirahat."
Jawaban pendek Widia, tentu menimbulkan kecurigaan.
"Teman-teman, besok aku kerumah Bu Yunita lagi. Kalau ada yang nitip sesuatu silahkan dibawa besok ya. Tapi jangan yang berat-berat."
Selasa, 25 Nopember
Sepulang sekolah, Widia bergegas mempersiapkan barang dan ada juga uang titipan dari teman-temannya. Kebetulan hari ini siswa dipulangkan lebih awal karena peringatan hari guru. Widia ingat akan janjinya, membawakan buah pepaya buat Ibu Yunita. Setelah semua siap, Widia berjalan kaki menuju rumah Bu Yunita.
Kurang lebih empat puluh menit, Widia sudah sampai di rumah kos Bu Yunita. Ada rasa curiga yang menggelayuti perasaan Widia. Dia tidak melihat satu orangpun kerabat Bu Yunita kelihatan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Terlihat di kamar kos nomer dua ada seorang ibu. Ia memberanikan diri bertanya.
"Bu..., mau nanya. Bu Yunita ada di kamar ya,?
"Rupanya tidak nak. Tadi ibu lihat ada ambulan membawa keluar. Pasti ibunya diajak berobat."
Mendengar ucapan tersebut, jantung Widia terasa berdegup. Badannya terasa bergetar karena sedih mendalam menyelimuti.
"Terimakasih buk. Saya mohon ijin menaruh titipan teman di depan kamar Bu Yunita."
Widia melangkah menuju kamar Bu Yunita. Dia melihat sekelilingnya, sambil melihat tempat menaruh titipan teman-temannya. Widia curiga ada selembar kertas warna putih di samping pintu. Widia mengamati dengan seksama. Winda yakin itu surat. Setelah ia buka benar saja surat dari Bu Yunita.
Widia bergegas membuka lalu membaca.
"Buat Anakku Widia."
'Ibu yakin nanda akan datang hari ini. Ibu tidak ingin mengecewakanmu. Maka ibu menyuruh ibu Mirzan menuliskan surat ini."
"Maafkan ibu akan lama tidak bertemu dengan nanda dan teman-teman karena ibu harus berobat ke Makasar. Ibu harus mencari rumah sakit yang besar agar pengobatan ibu maksimal."
"Percayalah, ibu pasti sembuh dan bisa bermain bersama dengan Widia dan teman-teman."
"Sampaikan salam Ibu kepada teman-teman semua."
"Dari Ibumu, YUNITA."
Sampai disitu Widia tak tahan lagi. Ia menjerit histeris. Tangisnya membuat Ibu Mirzan berlari mendekati. Bu Mirzan memapah Widia dan memberinya minum.
Panggil Daku Guru, itu pesan terakhir yang terngiang di pikiran Widia. Malam itu, mata Widia lama tiada terpejam. Dia tak henti-henti lantunkan doa untuk kesembuhan Bu Yunita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H