Widia berusaha menutupi keadaan Ibu Yunita. "Bu guru baik-baik teman-teman. Cuman beliau perlu istirahat."
Jawaban pendek Widia, tentu menimbulkan kecurigaan.
"Teman-teman, besok aku kerumah Bu Yunita lagi. Kalau ada yang nitip sesuatu silahkan dibawa besok ya. Tapi jangan yang berat-berat."
Selasa, 25 Nopember
Sepulang sekolah, Widia bergegas mempersiapkan barang dan ada juga uang titipan dari teman-temannya. Kebetulan hari ini siswa dipulangkan lebih awal karena peringatan hari guru. Widia ingat akan janjinya, membawakan buah pepaya buat Ibu Yunita. Setelah semua siap, Widia berjalan kaki menuju rumah Bu Yunita.
Kurang lebih empat puluh menit, Widia sudah sampai di rumah kos Bu Yunita. Ada rasa curiga yang menggelayuti perasaan Widia. Dia tidak melihat satu orangpun kerabat Bu Yunita kelihatan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Terlihat di kamar kos nomer dua ada seorang ibu. Ia memberanikan diri bertanya.
"Bu..., mau nanya. Bu Yunita ada di kamar ya,?
"Rupanya tidak nak. Tadi ibu lihat ada ambulan membawa keluar. Pasti ibunya diajak berobat."
Mendengar ucapan tersebut, jantung Widia terasa berdegup. Badannya terasa bergetar karena sedih mendalam menyelimuti.
"Terimakasih buk. Saya mohon ijin menaruh titipan teman di depan kamar Bu Yunita."
Widia melangkah menuju kamar Bu Yunita. Dia melihat sekelilingnya, sambil melihat tempat menaruh titipan teman-temannya. Widia curiga ada selembar kertas warna putih di samping pintu. Widia mengamati dengan seksama. Winda yakin itu surat. Setelah ia buka benar saja surat dari Bu Yunita.
Widia bergegas membuka lalu membaca.
"Buat Anakku Widia."
'Ibu yakin nanda akan datang hari ini. Ibu tidak ingin mengecewakanmu. Maka ibu menyuruh ibu Mirzan menuliskan surat ini."
"Maafkan ibu akan lama tidak bertemu dengan nanda dan teman-teman karena ibu harus berobat ke Makasar. Ibu harus mencari rumah sakit yang besar agar pengobatan ibu maksimal."
"Percayalah, ibu pasti sembuh dan bisa bermain bersama dengan Widia dan teman-teman."
"Sampaikan salam Ibu kepada teman-teman semua."
"Dari Ibumu, YUNITA."
Sampai disitu Widia tak tahan lagi. Ia menjerit histeris. Tangisnya membuat Ibu Mirzan berlari mendekati. Bu Mirzan memapah Widia dan memberinya minum.