POJOK PERPUSTAKAANÂ
Kalau saja buku yang Sinta mau pinjam tidak berpindah tangan, mungkin ceritanya tidak sampai ke Rio. Bayangkan, dia hampir satu jam memilih buku yang seabrek jumlahnya di sekolahku, tiba-tiba tidak ada di atas meja. Sinta yakin buku itu telah ditaruh disitu. Yakin. Tiga buku novel. Dua buku tentang lsafat. Paling mangkel dia kehilangan buku novel yang lama dicari-cari. Peminatnya pasti banyak,terutama temen perempuan. Maklum sangat romantis. Apalagi seumurku sudah mau menginjak dewasa. Sinta bolak-balik disekitar ruangan perpustakaan. Sambil pura-pura membaca, dia melirik teman-teman perempuan sekitarnya. Dilihatnya Rani asik membaca buku. Dia malu menuduh Rani membaca buku novel yang hilang.
"Ran, kamu baca apa sih? Asik bener." Rani tetap membaca, sambil senyum-senyum.
Sinta penasaran. Apa pertanyaannya didengar, atau dia cuwek aja?"
"E, kutu buku. Kamu dengar pertanyaanku Ran?"
"Sori, nona novel. Aku sedang asik baca cerita ini. Lucu...menggelikan. kamu pingin tahu?"
Rani menjawab dan bilang nona novel karena Sinta terkenal di kelas 3 IPA1 dengan sebutan nona novel.
"Ran, kamu tahu ya kisahku hampir sama dengan novel yang kamu baca?"
"Mana ku tahu? Kamu kan lagi asik tadi di pojok perpustakaan."
Sinta bengong, jadi tidak paham, lalu bertanya sama Rani. "Aku tidak ngerti. Maksudmu apa sih Ran?"
"Ah, kura-kura dalam perahu."
"Ran, jangan permainkan aku. Nanti aku marah. Ni, lihat. Kuku ini bisa mencakarmu."
Sinta memegang tangan Rani. Rani terus mejawab. " Sory ya nona novel. Tadi aku lihat kamu baca buku. Di belakangmu terlihat Rio berdiri sembunyi. Saat kamu taruh buku, Rio cekatan ngambilnya."
"Oh, gitu ya Ran."
"Iya, nonaaaa. Kirain kamu maen petak umpet sama pujaan hati."
"Ah, kamu ada saja Ran. Dia beda kelas. Malu-maluin." Sinta menjewer pipi Rani.
"Aku lapor ke ibu perpus dulu ya Ran. Aku penasaran sama novel yang mau aku pinjam."
"Nanti pinjam aja ke Rio!"
"Ih, sinta. Kamu ada-ada saja." Sinta terus bergegas ke ruang ibu perpus.
"Bu, apakah ada siswa yang pinjam buku tadi?"
"Coba ibu lihat catatan pinjaman."
"O, ada Sinta. Ni, catatan ke dua puluh. Namanya Rio. Kelas 9c."
"Terimakasih bu. Saya mau pinjam buku ini saja." Sinta menyodorkan buku.
Perasaan Sinta deg-degan. Dari kapan dia suka novel? Bukankah dia suka baca buku kimia dan biologi? Aku dengar dia cari kedokteran. " Bukankah dia berhak membaca novel?" Pikir Sinta.
Teng...teng...teng... Bel pulang sekolah berbunyi. Kita rebutan cari bemo jemputan. Tak disangka aku berpapasan dengan Rio. Sikapku biasa saja. Aku sempat melirik kaca mata tebal yang dipakainya. Pantesan juga dapat juara umum dari kelas IPA. Biasanya para juara ngumpul di kelas IPA1.
Aku berdiri agak jauh. Takut diledekin teman-teman. Bebo jemputan telah tiba. Aku naik bersama Rani. Sekitar 10 meter, tahunya Rio naik ke bemo yang sama. Sialnya lagi aku duduk berhadapan. Hati Sinta deg-degan disaat Rani mulai senyum-senyum. "Pasti dia ledekin aku." Pikir Sinta.
Bener aja, Rani mulai berulah. "Sin, bagaimana buk perpus tadi? Dia tahu ada yang mengambil novel yang mau kau pinjam?"
Sambil menjimpit paha Rani, Sinta mengalihkan pembicaraan. "Ran, baiknya kau diam. Aku mau mabuk. Tadi kebanyakan minum es!" Bisik Sinta pada Rani.
Bukannya Sinta mau ngerti maksudku, tapi dia malah makin ngaco ngeledek. "Ran, kalau aku melihatnya, pasti aku cakar. Sukanya mempermainkan perempuan."
Sinta bener-bener bereaksi. Dia menjimpit paha Rani. Rani menjerit. "Aduh, sakit Sin. Coba tanya Rio. Sakit ndak kalau dijimpit perempuan!"
Tampak Rio tersenyum. Namun wajahnya sedikit memerah, karena dia takut ketahuan mengambil novel itu. Padahal lewat novel itu dia ingin menitip sesuatu yang paling rahasia buat Sinta.
Tidak terasa Rio sudah sampai di depan rumahnya. Dia bergegas turun dari bemo.
"Hai, Rani dan teman-teman. Aku duluan ya."
"Kok, sebut namaku saja? Sapa dong Sinta!"
Rani menggoda. Dan Rio hanya senyum-senyum saja.
Tak berselang lama Sinta berucap dengan suara tidak terlalu keras. "Ran, kamu keterlaluan deh hari ini. Kamu kerjain aku habis-habisan. Aku malu Ran."
"Buat apa menutup peti? Lebih baik letakkan memanjang. Buat apa menutup hati? Lebih baik berucap sayang." Rani langsung jawab dengan pantun.
Sinta tersenyum. Hati nya jadi berdebar. "Rani memang teman perempuanku yang maco. Dia apa adanya. Ada jua benarnya. Buat apa memendam rindu dan cinta? Pikir Sinta."
"Ran, aku tahu kamu memang temanku yang baik. Tapi soal aku dengan Rio, jangan dibicarakan dulu ya. Please Ran. Aku belum ada apa-apanya."
"Oke, don't worry my frience." Sambil tersenyum, Rani turun dari bemo, sambil menepuk tangan Sinta.
Sinta terus menjawab. "Makasi ya Ran. Besok kita sua lagi."
Ia masih membayangkan kok bisa novel Layar Terkembang benar dipinjam Rio? Dari kapan Rio suka baca novel? Ah, baiknya aku tidur saja. Buat apa mikirin Rio. Tapi apakah aku jatuh cinta kepada Rio? Rani tertidur pulas bersama kerinduan kepada Rani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H