Mohon tunggu...
I Dewa Nyoman Sarjana
I Dewa Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - profesi guru dan juga penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

hobi membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kita Harus Berpisah

11 Agustus 2023   18:41 Diperbarui: 11 Agustus 2023   19:07 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KITA HARUS BERPISAH

"Bagaimana dengan nasib anak kita?" Suamiku sepertinya berpura pura mikir. Padahal aku tahu dia menyimpan kebohongon itu berkali-kali. Aku tahu dia sangat bahagia bila pengasuhan terhadap anak menjadi tanggungjawabku.

"Maksudmu? Masih ragu akan tanggungjawabku terhadap putri satu-satunya milik kita? Mas, aku sembilan bulan menimangnya di dalam perut. Susah, sakit, dan banyak lagi sudah aku rasakan."

"Kau siap membesarkan putri kita?"
"Jangan bilang putri kita. Kau pembohong besar. Mestinya kalau itu putri kita, mengapa kau tega mencari selingkuhan dan bahkan sampai punya anak?"

Putri lalu meninggalkan suaminya. Dia tidak mau berpolemik dengan laki-laki yang sudah buta pikiran. Sepertinya apa yang dia inginkan apa itu salah selalu merasa benar.

Kalau saja Putri membiarkan peristiwa pulang larut malam suaminya berkali-kali, peristiwa perselingkuhan suaminya dengan sekretaris di kantor tidak ketahuan.

Suaminya dari luar terlihat sangat sayang. Dia memenuhi semua kebutuhan rumah tangga, termasuk kebutuhan bathinku.
Tapi sebagai perempuan, naluriku sangat peka. Masak sih pimpinan harus selalu telat pulang. Bukankah dia menentukan waktunya. Tidak mungkin anak buah akan menanyakan kemana mau pimpinannya. Belum lagi keluar daerah dengan alasan mewakili kantor pertemuan dengan tim direksi pusat.

Memang yang busuk susah untuk selalu disembunyikan. Hingga suatu saat.
"Mas, saputangan ini milik siapa?"
"Anu..Mam. Tadi stafku lupa mengambil di mejaku."
"Trus kamu bawa pulang? Jujur Mas. Perasaanku beda hari ini."
"Ma, jangan cemburu berlebih. Itu perkataanku yang sesungguhnya. Percayalah. Aku sayang kamu."
"Mas, kau masih mau berbohong? Beberapa kali sebenarnya aku kecewa. Tapi aku menyimpannya demi anakmu Mas."
"Putri, sejak kapan aku tidak menyayangimu. Aku sudah berikan yang terbaik."
"Mas, coba lihat ini."

Putri mengeluarkan baju perempuan, lengkap dengan asesoris. Mungkin suaminya mau memberi surprise kepada selingkuhannya. Putri melempar semua di depan suaminya. Tentu tidak ada kesempatan lagi untuk berbohong. Silang pendapat di hari itu sangat sengit. Aku tak kuat menahan tangis hingga menjerit. Aku tak mau lagi disentuh suamiku. Aku muak melihatnya. Begitu teganya dia meruntuhkan rumah tangga yang telah dibangun dengan susah payah.

"Begini saja. Biar aku tidak sakit dan kamu dapat menikmati kehidupan baru dengan pacarmu, aku putuskan pernikahan ini."

Begitulah suasana hari itu. Putri harus meninggalkan suaminya dengan anaknya semata wayang. Dia kembali kerumah orang tuanya. Sementara Putri memilih hidup tenang dengan anaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun