KITA HARUS BERPISAH
"Bagaimana dengan nasib anak kita?" Suamiku sepertinya berpura pura mikir. Padahal aku tahu dia menyimpan kebohongon itu berkali-kali. Aku tahu dia sangat bahagia bila pengasuhan terhadap anak menjadi tanggungjawabku.
"Maksudmu? Masih ragu akan tanggungjawabku terhadap putri satu-satunya milik kita? Mas, aku sembilan bulan menimangnya di dalam perut. Susah, sakit, dan banyak lagi sudah aku rasakan."
"Kau siap membesarkan putri kita?"
"Jangan bilang putri kita. Kau pembohong besar. Mestinya kalau itu putri kita, mengapa kau tega mencari selingkuhan dan bahkan sampai punya anak?"
Putri lalu meninggalkan suaminya. Dia tidak mau berpolemik dengan laki-laki yang sudah buta pikiran. Sepertinya apa yang dia inginkan apa itu salah selalu merasa benar.
Kalau saja Putri membiarkan peristiwa pulang larut malam suaminya berkali-kali, peristiwa perselingkuhan suaminya dengan sekretaris di kantor tidak ketahuan.
Suaminya dari luar terlihat sangat sayang. Dia memenuhi semua kebutuhan rumah tangga, termasuk kebutuhan bathinku.
Tapi sebagai perempuan, naluriku sangat peka. Masak sih pimpinan harus selalu telat pulang. Bukankah dia menentukan waktunya. Tidak mungkin anak buah akan menanyakan kemana mau pimpinannya. Belum lagi keluar daerah dengan alasan mewakili kantor pertemuan dengan tim direksi pusat.
Memang yang busuk susah untuk selalu disembunyikan. Hingga suatu saat.
"Mas, saputangan ini milik siapa?"
"Anu..Mam. Tadi stafku lupa mengambil di mejaku."
"Trus kamu bawa pulang? Jujur Mas. Perasaanku beda hari ini."
"Ma, jangan cemburu berlebih. Itu perkataanku yang sesungguhnya. Percayalah. Aku sayang kamu."
"Mas, kau masih mau berbohong? Beberapa kali sebenarnya aku kecewa. Tapi aku menyimpannya demi anakmu Mas."
"Putri, sejak kapan aku tidak menyayangimu. Aku sudah berikan yang terbaik."
"Mas, coba lihat ini."
Putri mengeluarkan baju perempuan, lengkap dengan asesoris. Mungkin suaminya mau memberi surprise kepada selingkuhannya. Putri melempar semua di depan suaminya. Tentu tidak ada kesempatan lagi untuk berbohong. Silang pendapat di hari itu sangat sengit. Aku tak kuat menahan tangis hingga menjerit. Aku tak mau lagi disentuh suamiku. Aku muak melihatnya. Begitu teganya dia meruntuhkan rumah tangga yang telah dibangun dengan susah payah.
"Begini saja. Biar aku tidak sakit dan kamu dapat menikmati kehidupan baru dengan pacarmu, aku putuskan pernikahan ini."