Setelah makan pagi mereka mempersiapkan diri.
"Gek, ini pakaian ke pura. Silahkan dipilih. Tadi menantu Biang membawakan".
"Yang mana saja boleh Biang". Gek mirah menyaut dan mengambil pakaian yang dibawa Biang Mangku.
"Yang ini dicoba ya. Tuh, di kamar Gek kan ada kaca kecil. Ayo lihat di sana".
Gek Dwi bergegas kedalam. Dia malu menghambat Biang ke pura. Setelah terasa pas, dia keluar dari kamarnya.
"Wah, sudah cantik. Bajunya pas. Ayo kita berangkat ke pura".
Mereka bertiga bergegas ke Pura Enjung. Tidak berselang lama, sudah sampai. Sesaji dan dupa dihaturkan di setiap pelinggih. Persembahyangan dilakukan dengan kusuk.
Setelah selesai sembahyang, bertiga mereka menikmati jajan dan buah yang baru saja dihaturkan. Desiran angin dan debur ombak mengingatkan peristiwa yang lalu. Hingga Bapa Mangku memulai pembicaraan.
"Gek, Bapa sudah menitipkan Gek untuk bekerja di villa sebelah. Bapa masih digugu oleh pemilik-pemilik villa disekitar Pura Enjung. Mulai besok silahkan mulai bekerja. Pakaian kerja sudah ada di villa. Tinggal memilih mana yang pas".
"Suksma Bapa Mangku. Banyak sekali bantuan yang sudah diberikan".
"Kita syukuri saja. Semua adalah karunia Tuhan". Mereka bergegas untuk pulang.
Hari-hari terus berlalu. Hampir setahun dia tinggal di keluarga Mangku. Gek Dwi sudah merasakan dia menjadi keluarga mereka. Syukur dan bahagia sudah dirasakan oleh Gek Dwi. Apalagi dia  dicarikan tempat kerja yang nyaman.
Tapi pertanyaan berat masih menghantui Gek Dwi. Sampai kapan rahasia hidupku akan dibukakan?. Apa salahku dilahirkan?
Bali, 24 4 23
Catatan
Ajak tiang = aku mau ikut
Kayeh malu = mandi dulu
Biang = ibu
Ngarangin = memiliki
Suksma = terimakasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H