"Nikmati ya Gek. Makanan ala kampung". Biang Mangku memecah kesunyian. Dia tidak ingin perempuan disampingnya lama termangu. Mungkin dia menyimpan beban yang berat, pikirnya.
Gek Dwi meminum air, lalu berucap."maaf ya Biang, Gek ngerepotin". Tidak banyak kata yang terucap. Air matanya duluan meleleh.
"Jangan menangis. Biang jadi sedih. Nikmati dulu makannya". Biang mangku memegang tangan Gek Dwi, sambil terus memberi semangat.
"Nanti tidur di kamar samping kamar Biang saja ya. Atau mau bersama Biang mangku?. Tapi kamar orang tua baunya tidak baik", sindirnya.
Malam terus merambat. Entah kecamuk apa yang menggelayuti hati Gek Dwi, sampai akhirnya tertidur pulas. Pagi-pagi Gek Dwi bangun. Dia menyapu di halaman rumah. Biang Mangku mengintip dari dapur. Ia ingin dia bisa sedikit melupakan apa yang baru dialaminya. Biang Mangku mendekati. "Gek, ni minum teh hangatnya. Temani Biang minum kopi". Lalu Biang Mangku mengajak nya duduk di teras.
"Biang, maafkan Gek ya. Gek merepotkan keluarga disini".
"Jangan bilang begitu. Walau baru sehari, Gek sudah Biang anggap anak. Jangan sungkan tinggal disini. Tapi boleh Biang tahu Gek dari mana?"
"Tiang tidak tahu, entah darimana".
Sambil berusaha menahan air matanya, Gek Dwi menceritakan apa yang dia alami. Ibunya berasal dari luar daerah. Dia diajak pulang ke Bali oleh suaminya. Hidup dilingkungan keluarga berada, menyebabkan ibunya tidak betah karena tata cara yang tidak pernah dia lakukan. Ayahnya juga menjadi tidak baik sama ibunya. Sampai akhirnya ibu meninggalkannya entah kemana. Dia pun mendapat perlakuan yang tidak baik, karena ayah mencari istri yang baru. Akhirnya dia nekat meninggalkan rumah.
"Sudahlah. Lupakan itu. Biang senang Gek ada ditengah keluarga. Jangan memikirkan hal lain".
"Tapi Biang... Orang-orang mencemohku. Aku dibilang anak astra. Anak bebinjat. Dimana salahku dilahirkan?" Tangis Gek Dwi kembali meledak. Hatinya begitu sakit. Setahun dia mencoba melawan ketidakadilan ini. Sampai dia menyerah. Syukur dipertemukan kepada orang baik.
"Jangan dihiraukan gek. Itu orang-orang yang tidak paham. Tidak usah dilayani. Setiap kelahiran ini adalah kehendak Nya. Dan setiap orang harus menjalani kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Ayo siap-siap mandi. Nanti kita bersama sembahyang ke pura Enjung".
Suasana haru menyelimuti pagi itu. Sebagai orang tua yang semestinya menjadi cucu Gek Dwi, kesedihan tidak mampu juga disembunyikan. Bau harum asap dupa terpancar. Rupanya Bapa Mangku sudah melakukan persembahyangan di mrajan dan tempat tertentu di rumah. Sementara Biang Mangku mempersiapkan sesaji untuk dibawa ke pura.