Mohon tunggu...
I Dewa Nyoman Sarjana
I Dewa Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - profesi guru dan juga penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

hobi membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ada yang Ku Tinggal di Bali

27 Juli 2023   11:59 Diperbarui: 27 Juli 2023   12:38 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ADA YANG KU TINGGAL DI BALI
DN Sarjana

"Kau sudah siap Cindy? Kita turun ke loby. Mobil hotel stan bay mengantar kita ke air port". Suara mamanya lewat telpon kamar hotel. Cindy bergegas mengambil tas gendongnya. Barang yang lain sudah diambil oleh staf hotel. Tidak sempat duduk di loby, taxi hotel sudah menjemput. Barang bawaan semua sudah naik ke mobil.

"Lukisanmu sudah kebawa?".
Pertanyaan Mama seperti menggores luka di hatiku. Adakah mama tahu bahwa aku jatuh cinta dengan pelukisnya? Dada Cindy terasa enek.

"Sudah Ma".

"Kau menyukainya?"

"Pastilah Ma. Lukisannya bagus".
Mama tersenyum. Mama berjanji lain kali mengajakku lagi. Perasaanku nelangsa. Semoga sekalian hadir merestui hubunganku dengan Mas Putu, pikir Cindy.

Kendaraan sudah memasuki shortcut Ngurah Rai. Tidak lama taxi yang mereka tumpangi masuk di parkiran. Rombongan berjalan menuju pintu boarding. Cindy memandangi lukisan di sepanjang lorong. Dia membayangkan pelukisnya seperti Putu sendirian sedang melukis. Di boarding pass, pesawat yang mereka tumpangi akan take of pukul 20.00 wita lewat gate 5. Masih tersisa waktu 40 menit untuk istirahat. Cindy memanfaatkan waktu menghubungi Putu lewat whatshap vidio. Tampak Putu kelihatan belepotan dengan cat warna.
"Hai sayang. Aku sudah di airport. Belom mandi ya?"

"Males Cin. Aku menuntaskan sketsa dulu. Biar tidak hilang dalam ingatan". Putu membalas sambil mengepulkan asap rokoknya.
Cindy melepas senyumnya, walau berpisah menyisakan sunyi yang dalam.
"Lukisan siapa sih? Mandi dulu sayang. And dikitin merokok. Ntar kamu sakit".

"Biasa ada pesanan. Makasi perhatiannya Cindy".
Sampai disitu panggilan keberangkatan tujuan Jakarta sudah dipersilahkan naik ke pesawat.
"Sayang, aku naik pesawat dulu. Sudah ada panggilan. Aku janji akan segera ke Bali".

"Ya, say. Jaga diri baik-baik". Putu melambaikan tangannya.
Sambil melepas kecupan walau lewat layar hp, Cindy memutus vidio call. Dia bergegas naik ke pesawat. Berat memang langkah yang dirasa. Deru dan getar pesawat terasa saat tinggal landas. Cindy melepas doa. Dapat sheet dipinggir pintu darurat, Cindy memandang keluar. Langit biru diiringi awan berarak, sepertinya memberi isyarat tentang biru hati Cindy saat ini. Dilihatnya ke bawah. Silau riak air laut dan hijau tumbuhan masih terlihat. Melintas dalam ingatannya Tanah Lot, pantai Kuta telah membuat hatinya tumbuh mekar. Akankah terulang lagi.

Lampu dalam pesawat tampak terang. Tanda sudah bisa membuka sabuk pengaman. Tiada lagi terlihat di luar kecuali sekumpulan awan. Beberapa penumpang membaca koran. Ada juga yang memasang head set mendengarkan musik. Pramugari tampak membagikan makanan. Cindy membuka tempat makan di depan tempat duduk. Dia tidak hirau dengan hidangan. Ia terasa nyaman dalam diam membisu. Entah apa yang melintas dipikirannya, kemudian dia terlelap tidur dalam kesepian.

Hingga terdengar kru pesawat mengumumkan bahwa pesawat siap-siap mendarat. Penumpang dipersilahkan memakai sabuk pengaman. Terasa pesawat bergetar. Mungkin sedang turun dari ketinggian. Hanya beberapa saat, pesawat mendarat dengan aman. Mobil air port menjemput penumpang keluar dari bandara.
Pak Hendro sopir pribadi mama, sigap menjemput. Kali ini Bu Inem juga ikut. Sambil menyalami mama dan aku, pak Hendro dan bu Inem, bergegas mengangkat barang bawaan dari troly.

"Pak Hendro, Bi Inem, hati-hati ya. Barangnya berat". Mereka mengangguk.

"Mari, ibu yang bawa Den Ayu. Bi Inem mencoba meraih lukisan yang aku pegang".

"Aku aja bi. Tidak berat kok".
Tidak berselang lama, mereka sudah sampai di rumah. Rumah yang luas dengan taman yang tertata rapi.

"Den Ayu, bibi sudah buatkan teh jahe hangat kesukaanmu. Silahkan dinikmati. Bibi sudah taruh di kamar".
Sambil tersenyum dan memegang tangan Bibi Inem, Cindy berkata. "Bi, sini dulu. Ikuti aku ke ruangan. Aku ingin cerita sama bibi".
Bi Inem mengangguk.
Sesampai di kamar, Bi Inem diberikan kejutan berupa hadiah baju yang bercirikan nuansa Bali.

"Bi, ini baju dengan gambar Tanah Lot. Yang satu lagi, yang dres itu oleh-oleh dari pantai Kuta".
Bi Inem tampak sumringah. Senang bukan main dapat oleh-oleh dari Bali. Berkali-kali dia bilang terimakasih.

"Bi, yang terbungkus itu, kita buka bersama yuk. Pasti bibi akan terkejut apa isinya".
Cindy perlahan merobek bungkusan. Bi Inem ikut memegangi. Tampak mulai terlihat urai rambut. Cindy terus merobek bungkusan, hingga.

"Na, lihat kan Bi, lukisannya?"
Bi Inem terheran-heran. Gadis yang dari kecil dia asuh tampak anggun dan cantik di lukisan itu. Persis dengan yang sesungguhnya.
"Duh, Den Ayu, lukisannya bagus. Cantik dan ayu. Memang pas dengan Den Ayu", Bi Inem memuji.

Cindy tersenyum dan menatap Bi Inem.
"Bibi tahu siapa yang melukis?"

"Hendaklah Den Ayu. Menurut Bibi, pasti ganteng orangnya". Baru berkata demikian, Cindy teringat dengan pelukis yang meluluhkan hatinya,  Mas Putu.

"Ah, Bibi suka memuji. Memang yang melukis laki-laki. Bolehlah dibilang ganteng".

"Na, kan bener Den. Orangnya ganteng. Sudah tua ya Den?
Cindy mengkerutkan alisnya. Dia tidak pas ucapan Bibinya. Kok dibilang tua.

"Tidaklah Bi. Dia masih muda".
Bibi tersenyum. Sebagai orang yang lama mengasuh Cindy, dia tahu sasmita Cindy terlihat sungguh-sungguh mau bercerita tentang pelukis wajahnya.

"Maaf Den. Den Ayu suka dia ya". Bibi Inem keceplosan memancing inangnya.
Cindy mengguncang bahu Bibi Inem. "Ah, bibi bisa aja. Dia jauh".

"Kan bisa Den. Jauh di mata, dekat di hati"
"Bibi ngelantur aja. Tapi...".Bi Inem memotong perkataan Cindy.

"Tapi, jangan bilang siapa-siapa kan maksud Den Ayu?"
Cindy tidak bisa menyembunyikan apa sesungguhnya yang terjadi.
"Benar Bibi. Jangan sampai ada yang tahu. Aku takut ada masalah nanti"
Bibi Inem, mengangguk, sambil mohon pamit. Begitulah, lukisan itu menjadi pelipur lara Cindy ketika ia membayangkan Mas Putu yang jauh di Bali. Pelukis yang eksentrik, tapi santun dan ganteng lagi. Mas Putu menjadi bagian dari cahaya hidupnya. Dapatkah aku bersanding dengannya? Sebuah tanya entah kapan terjawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun