"Apa tidak cukup?" Apa aku harus katakan aku mencintaimu Rama?"
Santi merebahkan wajahnya di dada Rama. Dia lalu bercerita banyak tentang kehidupannya. Selama ini dia merasa hampa. Sebagai anak mami, anak pengusaha, pastilah berkecukupan. Apa yang dia mau terpenuhi. Tapi dia kehilangan kasih sayang. Hari-harinya sepi. Keluarga mereka sibuk soal bisnis.
"Terburu-buru mengambil keputusan tidaklah baik. Bagiku cinta itu anugrah",
jawab Rama sambil memandangi wajah Santi.
"Ya, anugrah Rama. Aku yang sangat merasakan. Kekosongan bathinku selama ini terobati karenamu. Aku mencintaimu".
Rama mengambil keputusan yang sangat sulit demi seseorang di sampingnya. Dia tahu bagaimana rasa kehilangan. Dia jauh-jauh dari Jogja ke Ubud, semata juga melepas kebuntuan ekspresi dalam hidupnya. Dia ingin katakan bahwa hidup adalah bagian dari seni yang bisa dinikmati.
"Hari sudah gelap. Baiknya kau balik ke hotel Santi. Nanti ibu mu marah".
"Rama, beri aku menikmati malam ini bersamamu. kau lihatlah burung camar itu. Dia bebas, terbang kemana. Â Entah debur ombak keberapa, aku menunggu jawabanmu Rama. Kau tetap saja membisu".
Santi memandangi Rama. Sorot mata penuh pengharapan terpancar.
"Aku menunggu jawabanmu".
"Ku jawab pada saatnya nanti. Percayalah", jawab Rama sambil memandangi wajah Santi yang sedikit cemberut bergelayut kesedihan.
Santi dengan berat hati mengangguk tanda setuju. Mereka meluncur di jalanan. Malam di Kuta begitu indah karena jalanan dihiasi lampu warna-warni. Suara musik di club, cafe menambah semarak suasana.
"Ingat ambil lukisannya ke Ubud ya Santi !"
"Pasti ku ambil Rama".
Mereka kemudian berpisah seiring bertambahnya malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H