CANDA RIA DI PANTAI KUTA
DN Sarjana
Dalam remang senja menyelimuti pantai Kuta pengunjung menikmati dengan canda tawa. Warna jingga meliak liuk di langit, bak lukisan yang teramat luas. Pesona kian indah ketika mentari mulai merambah kaki langit di ujung barat. Orang-orang meninggalkan bayang hitam di hamparan pasir yang kian tak tampak. Disitulah dua sejoli sedang melepas wicara dengan hati yang berbunga.
"Rama, kamu ngomongnya kok pelit banget sih?", Â tanya Santi sambil mengorek pasir putih pantai Kuta. Mentaripun terus bersimpuh di kaki barat pantai. Warna jingga sangat mempesona. Rama berpikir harus jawab apa biar mengena. Dia menyembunyikan perasaan grogi. Dia sendiri baru merasa getar yang berbeda dihadapan perempuan yang bernama Sant.
"Mungkin karena terbiasa fokus melukis", jawab Rama.
"Kepada gadis lain juga?"
"Hanya kepadamu".
Wajah Santi memerah. Rama dapat membaca ada perasaan berbeda di hati Santi. Apakah dia jatuh cinta padaku?
"Rama, itu bukan jawaban yang aku harap. sangat menyakitkan".
"San, jujur ku katakan karena baru kali ini aku bercengkrama serius dengan seorang gadis. Ya, hanya kamu".
Rama memperhatikan wajah gadis manis. Desiran angin laut mengibas rambut berderai, menambah anggun. Dalam remang malam, Rama memberanikan diri memegang tangan Santi. Toh yang melihat hanya deburan ombak pesisi Kuta, pikirnya. Hati Santi terperanjat. Ada getar mengalir di dadanya.
"Rama, aku minta pengertianmu. Bisakah kau rasakan aku jauh-jauh dari Yogja, agar kesendirianku bertemu di Ubud".
"Tapi itu perasaan Santi. Setiap orang punya rasa".
"Apa tidak cukup?" Apa aku harus katakan aku mencintaimu Rama?"
Santi merebahkan wajahnya di dada Rama. Dia lalu bercerita banyak tentang kehidupannya. Selama ini dia merasa hampa. Sebagai anak mami, anak pengusaha, pastilah berkecukupan. Apa yang dia mau terpenuhi. Tapi dia kehilangan kasih sayang. Hari-harinya sepi. Keluarga mereka sibuk soal bisnis.
"Terburu-buru mengambil keputusan tidaklah baik. Bagiku cinta itu anugrah",
jawab Rama sambil memandangi wajah Santi.
"Ya, anugrah Rama. Aku yang sangat merasakan. Kekosongan bathinku selama ini terobati karenamu. Aku mencintaimu".
Rama mengambil keputusan yang sangat sulit demi seseorang di sampingnya. Dia tahu bagaimana rasa kehilangan. Dia jauh-jauh dari Jogja ke Ubud, semata juga melepas kebuntuan ekspresi dalam hidupnya. Dia ingin katakan bahwa hidup adalah bagian dari seni yang bisa dinikmati.
"Hari sudah gelap. Baiknya kau balik ke hotel Santi. Nanti ibu mu marah".
"Rama, beri aku menikmati malam ini bersamamu. kau lihatlah burung camar itu. Dia bebas, terbang kemana. Â Entah debur ombak keberapa, aku menunggu jawabanmu Rama. Kau tetap saja membisu".
Santi memandangi Rama. Sorot mata penuh pengharapan terpancar.
"Aku menunggu jawabanmu".
"Ku jawab pada saatnya nanti. Percayalah", jawab Rama sambil memandangi wajah Santi yang sedikit cemberut bergelayut kesedihan.
Santi dengan berat hati mengangguk tanda setuju. Mereka meluncur di jalanan. Malam di Kuta begitu indah karena jalanan dihiasi lampu warna-warni. Suara musik di club, cafe menambah semarak suasana.
"Ingat ambil lukisannya ke Ubud ya Santi !"
"Pasti ku ambil Rama".
Mereka kemudian berpisah seiring bertambahnya malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H