ASMARA BERSEMI DI TANAH LOT
DN Sarjana
Matahari sudah meninggi. Lastri sangat suka bermain air laut ditepian pura Tanah Lot. Dia melihat kerumunan orang. Rupanya mereka bergiliran masuk ke dalam goa tempat ular. Ular suci yang ada di pura.
"Kakimu tidak sakit lagi ya". Rahman memancing ingatan Lastri di sela ia bermain air.
"Ah, kak Rahman". Sambil memandangi, Lastri melempar percikan air ke Rahman yang sedang memandangi kekasihnya.
"Bener, aku pingin tahu. Nanti kalau masih sakit, kita cari tempat teduh. Akan kupijiti".
Lastri kelihatan malu-malu. Dia berlari mendekati Rahman terus mengguncang badannya.
"Uh, mulai berani ya. Awas ntar beneran kakiku sakit".
"Siap memijit kok. Tidak hanya kaki. Yang lain boleh".
"Mas, kamu ngaco. Memang aku ini siapa. Kata Lastri memancing sambil melepas senyum dihadapan .
Sisa waktu yang beberapa jam saja, membuat hari mereka sangat bahagia. Saling berpegangan bahkan sesekali berpelukan. Tidak ada lagi keraguan. Hati mereka berbunga-bunga. Liukan tebing, sepertinya memberi isyarat sesuatu yang tumbuh alami jauh lebih indah. Mereka  berdua meninggalkan area pura dengan menaiki tangga di pintu keluar. Lastri sangat tertarik dengan jejeran pakaian perempuan. Ia mengajak Rahman mendekati.
"Kak Rahman ini bagus ya".
"Kok kamu beli yang gitu?" Rahman pastinya tidak paham dengan gaun perempuan.
"Maksud kak Rahman?"
"Itu kan gaun perempuan. Cocok untuk yang masih punya bayi. Tapi kamu kan.." Lastri memotong perkataan Dedi.
"Rahman, emangnya kita sudah punya anak?"
"Setahun lagi", Rahman memancing. Alis Lastri sedikit mengkerut. Ada bayang kebahagian ketika itu terjadi, dan rumah diwarnai suara anak kecil.
"Rahman, Rahman. Ini gaun tidur namanya. Walau daster, tapi dia sudah modif. Ini untuk anak muda". Dedi mengangguk, pura-pura paham.
Tak berselang lama, hp Lastri berbunyi. Â Suara pak Joko sopir taxi. Katanya waktu berkunjung sudah habis. Mereka bergegas ketempat parkir. Tak lupa membeli kelapa muda.
"Maaf pak Joko kelamaan. Ini Lastri tadi kakinya sakit. Tidak bisa jalan". Lastri tersenyum. Dijimpitnya tangan Rahman, sambil berbisik. "Calon suami yang nakal".
"Kita kemana sekarang?", biar seharian bapak, ibu  sewa taxi". tanya pak Joko.
"Anterin aku ke hotel ya. Ni lukisannya berat. Ntar dari hotel kamu sendirian ke Ubud lagi".
"Siap, demi bidadariku".
Taxi meluncur ke arah Kuta. Jalan Nyanyi sampai Kerobokan, memang terkenal jalan super macet. Hari ini pun perjalanan mereka diganggu oleh kemacetan. Mungkin saking capeknya, Lastri tertidur di pundak Rahman. Sesekali wajahnya bersentuhan dengan pipi Rahman. Dia membiarkan saja. Toh Rahman sedang tidur. Dia tidak tahu kejadian itu. Tiba-tiba,
"Mas, gadis itu pacar mas ya?"
"Hmm, kenapa pak?"
"Orangnya cantik dan sangat sopan".
"Masak sih pak?"
"Benar. Kalau Mas memacarinya rasanya pas banget. Bodi sudah sama tinggi. Mas ganteng.
Rahman antara percaya dan tidak percaya mendengar ucapan pak Joko. Kok bisa sih kecurigaannya seperti itu. Ah, ngapain juga dipikirin.
"Mas, sudah dekat. Dibangunin dulu".
"Lastri bangun. Sudah nyampe". Rahman mengambil kepala Lastri. yang bersandar di bahunya.
"Oh, aku tertidur ya".
"Ya, dipundakku". Lastri tersenyum. Mereka bergegas menuju lobi hotel, setelah membayar sewa taxi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H