Jalan-Jalan di Pantai Kuta
DN Sarjana
     Hari ini, sore terasa lebih lama bagi Lely. Ia bosan tidur di kamar hotel. Sesekali dia menonton tv. Lely mencari channel yang menayangkan tentang fashion. Ia suka dunia fashion. Saat itu dia menemukan acara televisi Amerika making the cut.
    Acara ini menampilkan kompetisi mode. Tidak hanya desain fashion, tetapi juga menggali kompetisi manajemen bisnis para desainer. Lely sangat asik menonton. Tidak disadari suasana agak gelap terlihat di lobi kamar hotel. Dia bergegas menengok. Uh, ternyata sudah menjelang malam, pikirnya. Dia bergegas pergi ke kamar mandi. Dia ingat janji dengan Dedi.
Sedang asik berdandan, hp yang dia taruh di atas meja berbunyi. Lely bergegas mengambilnya.
"Lely kau dimana?. Aku mau berangkat.
"Iya Ded. Aku masih di hotel. Aku tunggu. Jauh ya Ubud ke Kuta?"
"Kalau dekat aku jalan kaki".
"Ah, Dedi. Kau selalu bercanda".
"Ya, biar tidak jenuh menunggu".
"Pelan-pelan ya Ded".
     Lely memandangi hp ditangannya. Hatinya bergetar. Ternyata dia memang datang. Lely sibuk memilih gaun malam yang pas. Dia membayangkan, Dedi laki-laki yang cuekan. Pastilah dia tidak suka melihat penampilanku yang serius. Lely memilih celana jin dan baju putih tanpa leher. Rasanya pas untuk suasana malam. Pikirnya.
     Dia sabar menunggu kehadiran Dedi. Dipandanginya bayang di almari kaca. Apakah penampilanku sudah pas menurut Dedi ya, pikirnya. Kurang lebih tiga puluh menit, hp Lely kembali bergetar. Cepat-cepat dia mengambil. Ada WhatsAap yang masuk. "Lely, aku sudah di lobi hotel". Lely bergegas keluar kamar. Dia turun lewat lif biar cepat sampai di lobi.
"Hai, sapa Dedi duluan", sambil menyalami Lely. Mereka sama-sama terkesima. Dedi tak nyangka gadis yang dia lukis, malam ini begitu anggun. Dia ragu apa ia. Sementara Lely nggak nyangka Dedi tampilannya seperti itu. Cuek aja. Itu lho, celana jeannya, seperti yang itu aja. Beberapa tampak bekas cat lukis. Uh, bener dah kata orang kalau seniman itu.
"Kita kemana Lely?" Tanya Dedi memecah kebisuan.
"Terserah Mas Dedi. Aku tidak tahu daerah sini".
"Aku bawa kemana saja ya. Silahkan boncengan".
"Ya, aku pasrah. Aku percayakan sama Mas Dedi".
"Yuk naik boncengan".
"Pelan-pelan ya Mas Dedi. Aku takut".
"Tenang aja. Di Kuta tidak boleh ngebut, karena jalannya memang macet".
Dedi melaju bersama Lely. Sesekali dia meliuk ditengah kendaraan roda empat. Sesekali juga Lely harus memeluk pinggang Dedi saking takutnya. Tempat pertama yang dituju adalah beachwalk shoping center.
    Dedi ingin menikmati copi sambil memandangi sunsite di pantai Kuta. Tidak berselang lama, mereka sudah sampai. Dedi memarkirkan motornya. Setelah memesan kopi, mereka sepakat membawa ke pantai agar bisa melihat sunsite.
"Ayo, minum kopi susunya".
"Oh ya. Aku hampir lupa. Makasi Ded. Wah, indahnya pantai di sini ya".
"Pantai ini memang pas untuk pacaran".
Sampai disitu Dedi menghirup kopi hitam kesukaannya. Sedotan rokok yang dalam, menandakan dia menikmati sesuatu.
"Kalau tidak pacaran?"
"Ya, seperti kita ini. Tidak apa-apa".
Lely, sebenarnya memancing Dedi agar dia lebih terbuka. Ada perasaan cinta yang tumbuh mulai saat pengambilan lukis dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H