Siapa yang tidak pernah mendengar nama Ubud. Suasana alam pedesaan ditata asri. Tidak heran disetiap tempat dibangun rumah hunian untuk tamu baik berupa home stay, villa, resort dan hotel. tidak salah Ubud dijuluki kampung tourism. Ubud terkenal di manca negara dan sering menjadi daerah tujuan wisata nomer satu di dunia. Bicara soal seni, di Ubud lah tempat dan lahirnya seniman kelas dunia.
"Ya, begitu. Agak geser ke timur. Ada melirik kesini. Ya...ya...pas. Tapi rambut disingkap dikit".
"Ah, gimana sih yang pas Bapak?" Perempuan itu agak ketus.
"Boleh aku pegang sebentar rambutmu?" Perempuan dengan wajah lumayan manis itu mengangguk. Dendi merasa tidak enak bersentuhan dengan setiap model yang akan dilukisnya. Dia selalu menjaga privatisasi seseorang. Apalagi dia seorang gadis.Dendi dua tiga kali memberi perintah gadis yang sedang dilukis. Sketsa lukisan mulai tampak. Dia melihat gadis itu gelisah.
"Ma, aku capek".
Mamanya kemudian bertanya kepada Dendi. Adakah jalan memotret anaknya untuk kemudian dilukis.
"Boleh aja bu. Tapi saya biasanya lebih suka dari pemodelan langsung, karena tidak terpengaruh situasi buatan. Baik saya potret aja". Dedi mengambil kamera hp, lalu memotret gadis itu beberapa kali.
"Sudah, silahkan. Pengambilan selesai".
Gadis itu melangkah mendekati ibunya. Diambilnya botol minuman, lalu dia mendekati sketsa lukisan tadi.
"Pak, kok senyumku kecut banget sih?"
"Kan belum selesai. Nanti akan dipadukan dengan poto tadi Buk".
Gadis itu menoleh kepada Dedi. Lalu dia berkata.
"Jangan bilang ibu. Aku masih muda kok". "E, maaf mbak. Boleh saya tahu namanya?" "Aku Lely".
"Aku juga masih muda Mbak Lely. Namaku Dedi". "Tapi,,,kau". Dedi memotong perkataan Lely.
"Kelihatan tua ya. Mungkin aku terlalu konsen melukis.
Apalagi melukis wajah sepertimu". Alis Lely sedikit kerut.
"Seperti apa sih wajahku?
"Cantik". Jawab Dedi singkat. Lely tak bisa menyembunyikan senyumnya.
"O, ya maaf saya bilang Bapak tadi Mas Dedi". "Tidak apa-apa. Kita tidak saling kenal".
Rupanya pembicaraan sesaat, menimbulkan benih rasa senang pada kedua insan yang berbeda.
Namun karena Lely bersama ibuk nya melanjukan perjalanan ke Kuta, Dedi hanya menyempatkan diri meminta nomer telpon. Dedi berjanji dua hari lagi lukisan akan selesai.
"Sampai jumpa Mas Dedi". Lely melampaikan tangannya dan mobilpun melaju.
Dedi melambaikan tangannya juga. Dia memandangi mobil perlahan terus menjauh. Rokok di jemari lupa dia hirup. Tangannya terasa panas. "Uh, ternyata aku terbawa halusinasi. Tumben kali aku terbius gadis model. Tampilannya yang ekspresif pas banget dengan pribadiku yang sedikit liar", pikir Dedi.
Cerita soal Dedi, dia memang salah satu pelukis eksentrik dikalangan pelukis di Ubud. Dedi, pelukis asal Jogja sudah beberapa tahun tinggal di Ubud. Tampilannya terkesan urakan. Mulai dari rambut gimbalnya dibiarkan panjang. Bercirikan baju seringan warna hitam dan celana pendek, sengaja dibalut cat warna-warni. Di bengkel kerja nya orang akan terheran-heran bukan saja karena cat warna yang berserakan, tapi putung rokok yang dia taruh di botol-botol besar bekas minuman yang unik. Ada puluhan botol berisi putung rokok ditaruh di rak.
Kali ini pun Dedi menghirup rokok nya dalam-dalam. Dia fokus menuntaskan lukisan lely. Pastinya dia tidak ingin mengecewakan Lely. Disaat sedang menghaluskan senyum Lely, hp di saku celana berdering.
"Hai, sedang apa mas Dedi?" Suara sedikit agak manja terdengar.
"Sedang ngopi", jawab Dedi santai. Dia memancing biar Lely penasaran.
"Jawabnya memang harus singkat ya?" "Karena aku melukismu"
"Bener Ded?"
"Tak percaya, lihat kesini !". Dedi menghirup rokoknya dalam-dalam. Suara Lely tak didengar lagi.
"Tapi, aku sama ibu di pantai Kuta. Menikmati sunrise". Jawab Lely sedikit manja.
"Ya, sudah. Nikmati aja. Aku disini sedang menikmati tubuhmu".
"Ah, apa kau bilang? Aku bukan gadis sembarangan Ded. Hati-hati bicara". Nada suara Lely meninggi.
"Kenapa marah? Aku kan melukis mu di kanvas. Aku harus menikmati. Artinya aku luruh dalam hayalku, biar lukisanmu tambah sempurna.
"O, aku baru paham. Maaf ya Ded. Dua hari lagi aku cari lukisanku".
Lely menutup hpnya karena segera menceburkan diri di pantai Kuta. Cahaya matahari warna jingga dan deburan air laut yang landai membawa suasana Lely begitu menikmati. Sesekali dia membayangkan bagaimana Dedi melukis dirinya. Tapi jujur aku pingin ditemani Dedi saat-saat seperti ini, pikirnya dalam hati. Jam sudah menunjukan pukul sembilan. Sengatan matahari mulai terasa. Lely bergegas mengambil pakaian dipinggir pantai. Seperti biasa dia melihat ke hpnya. Ternyata Mas Dedy beberapa kali nelpon. Terakhir dia mengirim sms. "Lely boleh aku ketemu di pantai Kuta malam nanti? Kebetulan aku menyerahkan lukisan kepada pelanggan, yang menginap di Kuta".
Tanpa pikir panjang, Lely menjawab. "Silahkan Ded. Aku tunggu di pantai. Kebetulan malam nanti ibuku juga ada acara. Dia meeting dengan kolega bisnisnya", Lely mengirim sms.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H