"Ya mas. Semoga bertemu". Niken memegang lengan adiknya menuju parkiran motor. Tak dinyana adiknya menggoda.
"Siapa tadi kak?. Pasti pacar ya".
"Us, sok tahu saja. Niken sedikit menjewer pipi adiknya, terus melaju menuju rumah.
Tepat tanggal tiga puluh satu, senja di taman kota masyarakat sudah mulai tumpah ruah. Mulai anak anak, remaja dan orang tua. Untung senja tidak turun hujan. Bunyi terompet dan kembang api sudah semarak. Malam ditandai sinar rembulan dan kerdipan bintang sudah tampak. Tanpa kota berhias cantic. Didandani lampu warna-warni. Lampion bergelantungan di beberap pohon. Ada yang dihiasi lampu kerlap-kerlip menambah indah suasana. Para pedagang asongan juga berbaur. Niken duduk sambil menunggu adiknya. Tidak berselang lama hp yang terselip di dompetnya berbunyi.
"Niken ada dimana?" Niken merasa ragu menjawab. Dilihatnya siapa yang menelpon.
O, Randu. Dia tidak enak mengabaikan.
 "Saya di pojok utara mas. Ya aku tunggu". Tidak berapa lama Randu sudah ada di depan Niken. Mereka duduk berdampingan, namun masih ada jarak. Pembicaraan mereka berdua dimulai hal-hal yag biasa. Tentang tahun baru yang bisa dirayakan dengan semarang sehabis bencana covid-19.
"Sama siapa". Randu memecah kebisuan.
"Biasa, sama adik". Niken melirik sambil berkata.
"Kirain sama pacar".
"Apa harus dengan pacar". Niken menjawab sedikit ketus.