Sambil makan dan memandangi liuk daun cemara dan lekuk cerug gunung Batur, percakapan berlangsung. Setelah cukup.lama waktu yang dihabiskan, Gilang merasa penting untuk menyampaikan sesuatu.
"Mar, aku ingin pertemanan ini kita akhiri dengan ikatan perkawinan", Gilang meyakinkan Cemara.
"Tapi Gilang, ada sesuatu yang belum pernah aku ceritakan padamu".
"Baiknya kau cerita saja. Aku sudah niat menerima dirimu seutuhnya".
"Tidakkah kau kecewa Galih?" Cemara memegang tangan Gilang.
Cemara lalu menceritakan masa lalunya yang pernah gagal berumah tangga. Kegagalan yang sesungguhnya tidak dia inginkan. Sebagai perempuan, dia masih memegang kuat adab ketimuran. Entah terlalu larut dengan lenangan masa lalunya, air mata Cemara meleleh. Hatinya berkecamuk. Apakah dia pantas bercerita hal yang sangat sensitif ini? Tidakkah gilang akan menjauh setelah mengetahui keadaannya? Apakah laki-laki masih punya kesetiaan? Hati Cemara makin berkecamuk. Gilang memperhatikan dan mengusap air mata Cemara.
"Sudahlah Mar. Aku paham apa yang kamu alami. Bukankah tiada manusia yang sempurna? Niatku sudah sepenuhnya menerima dirimu. Akan aku buktikan dipelaminan. Aku sudah rencanakan bersama keluarga". Cemara memeluk Gilang sambil melepas rasa haru lewat jerit tangisnya.
"Sudahlah, hentikan air matamu". Cemara sudah bersemi di Kintamani
Tabanan, 21 5 23
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H