CEMARA BERSEMI DI KINTAMANI
Kesepakatan agar bertemu telah lama mereka putuskan. Maklum mereka sama-sama sibuk mengurus pekerjaan. Gilang menjadi supervisor di sebuah hotel. Sementara Cemara pegawai bank suasta. Waktu bagi keduanya sangat berharga.
"Pagi Mara, sudah mulai kerja ya?"
"Aku kerjanya mulai jam 09, Gi. Aku masih bisa rapiin meja tempat kerja".
"Wah, rajin banget. Ingat ya Jumat depan kita ambil cuti bersamaan".
"Gi, berapa kali kamu ingatkan itu? Kayak aku masih kecil aja", jawab Cemara. Wajahnya sedikit cemberut. Mungkin kurang sreg sama kebiasaan Gilang yang terus nanya soal cuti.
"Maaf deh, aku takut kau melupakan".
Sebenarnya perkenalan mereka sudah lama. Mereka masih merahasiakan pribadi masing-masing, terutama Cemara. Dia tidak ingin menceritakan perjalanan masa lalunya yang kelabu. Cemara pernah mengalami kegagalan dalam menjalin rumah tangga. Itu pun bukan kehendaknya. Ada pihak ke tiga yang menjadi sumbu prahara besar dalam hidupnya. Tiga tahun yang lalu, dia dengan berat hati memutuskan perkawinannya dengan Gagah. Walau dia sudah berkorban hanya menjadi ibu rumah tangga saja, tapi Gagah memanfaatkan keterkungkungan Cemara di rumah. Dia masih trauma dengan pertengkaran terakhir malam itu.
"Pa, kau masih menginkan aku ada di rumah ini?" Cemara memancing suaminya, Gagah.
"Pertanyaanmu lucu Mara. Sejak kapan aku bosan ditemani kamu?" Cemara diam sejenak. Dipandanginya plapon rumah. Dia merenung. Bener ya, laki-laki suka menyembunyikan aibnya, pikirnya.