Mohon tunggu...
I Dewa Nyoman Sarjana
I Dewa Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - profesi guru dan juga penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

hobi membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Bulan Desember

12 Juli 2023   09:41 Diperbarui: 12 Juli 2023   09:47 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walau hujan di bulan Desember cukup deras, tapi tak sederas air mata Meisa menangisi kepergian suaminya Kinto. Ia meratapi jasad suaminya ketika dimasukan ke liang kubur. Serpihan tanah yang ia taburkan menyertai Kinto perlahan menghilang bersama peti yang membungkusnya. Semai bunga yang ditabur tak seindah dan semerbak kasih sayang suaminya. Meisa lama tak beranjak, sampai kemudian tangis anaknya memanggil. Sampai akhirnya adik perempuan yang menemani merawat suaminya, memopoh Meisa menjauh dari liang kubur. Ia tidak menyangka kepergian Kinto begitu cepat.

Lima belas tahun membangun rumah tangga, bukanlah waktu yang pendek. Dua anak semata wayang telah dikaruniai. Tidak ada firasat apalagi pesan yang disampaikan oleh suaminya. Hanya saja semenjak anak pertamanya masuk SMA, dia sering mengeluh soal masa depan anaknya. Dengan penghasilan yang pas-pasan sebagai pekerja diperusahan swasta, membuat suaminya sering dihantui oleh pikiran dan perasaan takut diberhentikan oleh perusahan. Padahal dia sudah dipercaya sebagai staf pengawas. Saat suasana santai, Kito menyampaikan sesuatu kepada Meisa.

"Ma, aku ingin mendapat penghasilan tambahan dengan bekerja lembur. Masih tersisa waktu dari jam 5 sore sampai malam." Kinto suamiku memelas.

Sambil memegang tangan suaminya, Meisa mengingatkan.

"Pa, saya minta Bapak berpikir dengan jernih. Saya paham kecemasan bapak. Bukankah apa yang kita dapatkan saat ini sudah cukup menghidupi keluarga kita? Yang penting kita hidup sekemampuan. Aku dan anak-anak kan tidak pernah menuntut apa-apa?"

Meisa meninggalkan suaminya pergi ke dapur untuk membuat teh hangat sambil mengambil pisang goreng yang dia buat sore tadi. " Pa, minum teh nya. Ni ibu tadi bikin pisang goreng."

Kinto meminum teh hangat. Kinto menatap istrinya, lalu berucap.

"Itulah sebabnya aku mencari tambahan. Aku kasihan padamu dan anak-anak. Tidak bisa menikmati kehidupan seperti keluarga lain."

"Mas, jangan berkata seperti itu. Bukankah aku dan anak-anak tidak pernah meminta? Mereka mengerti tentang keadaan Bapaknya."

Sambil berpindah tempat duduk disamping suaminya, Meisa melanjutkan harapannya.

"Pa, dari pada Bapak yang bekerja sendirian, lebih baik aku keluar mencari kerja. Kita percayakan anak-anak mengurus dirinya. Toh mereka sudah besar. Aku kasihan sama Bapak. Pengalamanku sebagai pelayan restauran cukup berpeluang mendapatkan kerja. Apalagi pariwisata sudah ramai kembali."

Baru berkata begitu, Kinto dengan tegas melarang istrinya bekerja. Ia tidak ingin anak-anak kehilangan kasih sayang dari ibunya. Kinto tidak ingin waktu anak-anak sepi dan kosong ketika datang dari sekolah. "Ya Meisa. Aku tidak mengambil lembur."

Tapi diam-diam Kinto memutuskan menjadi tukang ojek. Kinto bergabung dengan tim Grab. Mulai saat itu dia selalu terlambat pulang ke rumah. Meisa menaruh curiga, hingga ia memancing Kinto suaminya

"Pa, dua minggu ini Bapak kok sering terlambat pulang?"

Kinto menyembunyikan keterkejutannya. "Ma, aku ada pekerjaan lembur di kantor. Biasa perusahaan diakhir tahun pasti lembur karena mau tutup buku."

Meisa berusaha menerima alasan suaminya, walau kecurigaan masih ada. Meisa terus menyiapkan

air hangat untuk mandi suaminya. Setelah semua berjalan, Meisa mendampingi suaminya makan malam. Kinto sangat suka sayur lodeh, sambal terasi dan tahu goreng.

Malam itu suasana sangat damai. Anak mereka belajar dengan tekun. Meisa mendampingi suaminya lesehan sebelum meninggalkan anak-anak tidur. Merekapun menikmati malam ini dalam suasana yang mesra. Cuman Kinto merasa bersalah telah membohongi istrinya.

Keesokan hari tidak ada hal aneh yang terjadi. Kinto berangkat kerja seperti biasa. Demikian juga anak- anak. Semua baik-baik saja. Namun menjelang malam, tiba-tiba datang dua orang polisi ke

rumah. Mereka menanyakan apakah benar ini rumah Bapak Kinto. "Maaf bu, apakah bener ini rumah Bapak Kinto?"

"Benar pak. Aku istrinya." Meisa merasa terkejut didatangi polisi. Ia tidak ada merasa bersalah.

"Tenang bu. Mari ibu ikut saya. Bapak tadi mengalami kecelakaan. Sekarang sudah di rumah sakit.

Bapak baik-baik saja."

Tangis Ibu Meisa meledak. Dia tak menyangka atas peristiwa ini. Dia mempersiapkan apa adanya dan bergegas kerumah sakit. Tangisnya tiada henti. Pertanyaan bagaimana suamiku? Terus menghantui

Sepanjang perjalanan Meida membayangkan suaminya pasti kesakitan. Hatinya remuk redam. Meisa melantunkan doa dalam hati. "Semoga suamiku bsik-baik saja." Tidak terasa dia sudah sampai di rumah sakit. Setelah melalui pemeriksaan dia diperkenankan melihat suaminya ke ruang UGD. Meisa diberikan pakaian oleh perawat agar tubuhnya lebih steril.

Lalu dia menenangkan diri diantar masuk ruangan oleh perawat. Dilihatnya suaminya sedang berbaring tidak sadarkan diri. Alat-alat kesehatan menyelimuti tubuhnya. Air matanya meleleh. Ia malu menjerit. Meisa shock memandangi suaminya.

"Sabar ya bu. Sebentar lagi Bapak siuman. Ibu tidak boleh lama-lama di ruangan ini. Ruangan yang sangat streril."

Ibu Meisa mengangguK memandangi suaminya. Dia menyekat air matanya yang terus mengalir. Perawat kemudian menuntunnya keluar ruangan. Di luar ruangan, Meida satu-satunya adik perempuan yang belum menikah sudah menunggu. Mereka saling berpelukan. "Sabar ya Kak. Serahkan kepada Hyang Kuasa." Meida mencoba menenangkan kakaknya, sambil menyodorkan segelas air kepada kakaknya.

"Ida, kau jaga anakku ya. Biar dia tenang sekolah. Bilang sama mereka, ayah baik-baik saja. Kakak harus menunggu disini." Meisa berpesan kepada adiknya. Matanya masih kelihatan lembab karena dia tiada henti menangis.

"Iya kakak. Aku pulang sekarang. Biar mereka tidak gelisah." Meida berpamitan dengan kakaknya.

Hari terus berlalu. Keadaan Kinto suaminya kian membaik. Ia sudah siuman dan mulai bisa makan bubur. Hati Meisa sangat sedih melihat suaminya yang dulu kekar, sekarang kelihatan pucat dan kurus. Beberapa kali Meisa melihat suaminya tidak sadarkan diri.

"Tim dokter yang merawat Kinto mungkin merahasiakan sesuatu kepadaku." Pikir Meisa. Ia curiga ada penyakit lain yang menimpa suaminya. Hingga di hari ke 15 belas, Meisa dipanggil oleh dokter.

"Ibu, kami harus mengatakan yang sejujurnya. Setelah melakukan pemeriksaan yang maksimal, ternyata ada ditemukan tumor di kepala suami ibuk. Itulah yang menyebabkan suami ibuk sering tidak sadarkan diri. Kami harus segera melakukan operasi."

Sampai disitu penjelasan dokter, air mata Meisa tidak tertahan lagi. Ia merenung, mengapa kehidupan keluarganya yang sudah susah mendapat cobaan seperti ini. Meisa lalu berusaha menjawab apa yang dikatakan tim dokter. Apakah harus operasi pak dokter? Bagimana keselamatan jiwa suamiku?" Meisa tidak bisa bicara banyak. Tangisnya makin tertahan hingga tubuhnya bergetar.

Tim dokter merasakan keperihan hati Meisa. Tapi bagaimana lagi. Keputusan cepat harus diambil.

"Ibu, pilihan ini memang berat dan beresiko. Kalau tidak diambil tindakan, kami merasa bersalah membiarkan suamimu kesakitan. Tetapi kami tim, tidak berani memberi jaminan atas keselamatan suami ibu. Tapi, kalau dibiarkan, kami juga tidak bisa memberi jaminan. Kami menunggu keputusan ibu hari ini."

Suasana begitu tegang dan mencekam. Sorot mata Meisa sangat lemah. Ia merasa hidupnya sudah selesai. "Bagimana aku memutuskan sesuatu yang terlalu berat bagi seorang perempuan sepertiku?" Pikir Meisa.

"Dok, biarkan saja suamiku tidak dioperasi. Biar aku tunggu di sini. Tapi saya mohon dokter tidak bosan merawatnya."

Tim dokter saling pandang. "Tidak masalah kalau itu pilihan ibu. Kami siap memberikan perawatan yang terbaik." Jawab tim dokter sampai kemudian.mereka membubarkan diri.

Hampir dua bulan Meisa dan adiknya merawat suaminya di rumah sakit. Anak-anak juga sudah tahu keadaan Bapaknya. Mereka semua sudah kelihatan siap menerima apapun yang akan terjadi. Hingga hari itu tiba. Suami Meisa sudah tidak bisa lagi bertahan. Kinto menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Tak ada lagi kata-kata yang bisa membayar duka mendalam pada keluarga Meisa.

Bulan Desember. Hujan yang jatuh saat itu, tak sederas air Mata Meisa membasahi bumi.

Bali, Juni 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun