Mohon tunggu...
Putu Devi
Putu Devi Mohon Tunggu... Penulis -

Ketika curahan rasa lebih indah dalam barisan kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meretas Hoaks dengan Cuci Otak

23 Juli 2018   11:08 Diperbarui: 23 Juli 2018   11:28 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pesat dan cepatnya penyebaran informasi saat ini tidak hanya memberikan dampak positif tetapi juga menuai berbagai polemik. Netizen dengan mudahnya menerima informasi dan bahkan menyebarkannya dengan satu sentuhan saja, yang bahkan bisa dibaca publik dengan sangat cepat dalam waktu sepersekian detik. 

Bahayanya, semua berita yang diposting bisa dilakukan oleh siapapun, dan dimanapun tanpa kredibilitas yang pasti, sehingga berita tersebut tidak terfilter secara maksimal untuk membedakan mana berita yang sesungguhnya atau mana berita hoax yang justru memiliki unsur fitnah ataupun provokasi semata.

Terkait dengan hal tersebut, kita tentunya masih belum lupa dengan kasus penistaan agama yang menyeret nama mantan Gubernur Jakarta, serta kasus yang menyeret nama putri proklamator, Sukmawati Soekarnoputri usai video deklamasi puisinya beredar viral. Sebenarnya tidak hanya itu, kasus penistaan agama di Indonesia sudah ada sejak tahun 1965 dan puncaknya pada tahun 2006 (sumber tirto.id). 

Sekedar mengingat kembali, beberapa kasus penistaan agama yang pernah muncul seperti: Penangkapan Lia Eden yang terjerat kasus karena menganggap diri memimpin sekte Kerajaan Tuhan, Arswendo dikarenakan hasil jejak pendapatnya di tabloid monitor yang menimbulkan pergunjingan sebab dirinya lebih popular dibandingkan Nabi, hingga penistaan agama Hindu oleh seorang Ibu Rumah Tangga bernama Rusgiani karena menyebut canang sebagai sesuatu yang menjijikkan. Nyatanya, kasus penistaan agama tidak hanya membawa satu agama saja, tapi hampir kelima agama yang ada di Indonesia.

Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa betapa sensitifnya masyarakat Indonesia ketika disinggung mengenai hal-hal mengenai agama. Hanya disentil sedikit langsung berreaksi, hanya melirik sedikit langsung berkomentar. 

Seakan perbedaan agama balik menjadi boomerang perpecahan. Jika hal ini kian terjadi tanpa adanya solusi yang tepat maka agama tidak lagi menjadi kendaraan perdamaian tapi gerbang perpisahan.

Jadi merupakan langkah yang sangat tepat ketika Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mulai mencari cara berbenah untuk mengatasi reaksi cepat masyarakat serta sinisme yang dilakukan terhadap agama lain.

Sesungguhnya, ketika banyak opini yang menyebutkan tentang bagaimana mengatasi hoax dengan penyaringan konten, ataupun pemberlakuan spam, report serta bentuk penghapusan postingan lainnya, hanya sedikit yang membahas mengenai bagaimana melihat kasus penistaan agama ini dari sisi manusianya, dari mereka yang menyebarkan dan mereka yang membaca.

Hoax tidak akan menyebar dengan cepat jika publik tidak tertarik untuk membaca dan membagikannya. Hoax penistaan agama tidak akan menjadi momok, ketika public sudah teredukasi dan tahu mana yang benar bagi agamanya. Serta, hoax tidak akan menjadi viral jika masyarakat disibukkan dengan hal-hal yang lebih produktif dan positif. Kesimpulannya? Minat masyarakat untuk mempergunjingkan agama lain, merasa agamanya sendiri yang paling benar serta kurang produktifnya kegiatan mereka yang kemudian menjadi akar permasalahan. Inilah yang sudah semestinya menjadi fokus utama kementrian agama.

Analogi sederhananya, layaknya hukum supply-demand, supply atau penawaran penyebaran hoax ini akan terus ada semasih adanya demand atau permintaan dari masyarakat. Jadi yang harus segera ditumbangkan adalah permintaan tersebut, lalu bagaimana caranya?

Meretas Hoax bukan hanya dari kontennya, tapi dengan membenahi penggunanya, baik penulis dan pembaca. Penyebar berita tahu bahwa beritanya akan laku, dan masyarakat akan terpancing, sehingga hal ini terus dilakukan. Sekeras apapun pemerintah berusaha memfilter, melarang masyarakat membuat konten yang sensitif mengenai agama, namun semasih masyarakat dan netizen 'senang' untuk menjadi penonton, maka hal ini akan mustahil untuk dihapuskan.

Oleh karenanya langkah nyata serta upaya kementerian agama yang sebaiknya dilakukan antara lain: Mengedukasi masyarakat akan pentingnya toleransi, tidak hanya melalui seminar ataupun kegiatan formal lainnya, tetapi juga melalui media social, video ataupun kegiatan yang diviralkan. 

Selain itu, kementrian agama juga bisa mulai dengan kegiatan berupa kompetisi yang mengajak berbagai umat beragama sehingga bisa meningkatkan sportivitasnya, hal ini juga untuk menyalurkan kegiatan ke hal-hal yang lebih positif. Disamping itu, juga diperbanyak melakukan kegiatan kemanusiaan yang universal, misalnya tidak hanya kepada satu agama saja tetapi kepada semua agama dan menyeluruh di nusantara.

Disamping itu, upaya tangible toleransi yang bisa dilakukan adalah dengan membangun beberapa tempat ibadah di suatu area, sehingga bisa meningkatkan toleransi umat beragama. Salah satu tempat ibadah seperti ini adalah yang sudah dibangun pada tahun 1994 di Bali, bernama Puja Mandala.

Kegiatan kementrian agama sebaiknya holistik dan berimbang, yang artinya menyeluruh dan mencakup semua agama, serta pelaksanaannya merata kepada seluruh agama, tidak hanya cenderung pada satu agama mayoritas saja.

nasional.tagar.id
nasional.tagar.id
Dengan semakin teredukasi masyarakat, maka hoax mengenai agama niscaya akan berkurang. Jika pikiran sudah bersih, maka hati akan ikut terjaga. Hal ini bisa dimulai dari diri sendiri, jika membaca postingan yang provokatif, maka tindakan selanjutnya adalah dengan tidak mudah terhasut. Bayangkan jika setiap individu melakukan ini, dan bayangkan jika setiap orang di Indonesia memahami makna toleransi. 

Bayangkan pula jika konten yang menimbulkan perpecahan tersebut diabaikan, dan kita Negara Indonesia bersama-sama menggemakan perdamaian dalam visi yang sama.

Pada akhirnya, meretas hoax tidak hanya dengan membersihkan konten tetapi dengan 'mencuci otak' penyebar dan pembacanya. Mencuci otak dengan menghapus segala pandangan dan persepsi negatif terhadap agama lain. Mencuci otak dengan menganggap perbedaan agama adalah sebuah keyakinan personal dan kebebasan mutlak setiap individu. 

Biarkan itu menjadi urusan personal yang tidak perlu dipermasalahkan. Serta mencuci otak dengan menyadari bahwa percekcokan dengan agama akan merusak satu tujuan utama munculnya suatu agama, yakni: Perdamaian.

Bayangkan jika agama yang berbeda bisa bersatu, layaknya berbagai macam bunga yang terlihat indah dan berwarna.

Sebab intinya, semua agama adalah satu, hanya pendekatannya yang berbeda.

The essence of all religions is one. Only their approaches are different (Mahatma Gandhi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun