Sore itu tanggal 28 November 2019 tepat pada pukul 18.40 WIB saya dan kakak saya, Yeyen, tiba di Taman Ismail Marzuki. Poster-poster dengan tulisan "Drama Penonton" terpajang di sekitar wilayah Taman Ismail Marzuki hingga photobooth yang diletakkan di dalam gedung. "Drama Penonton" sendiri adalah tajuk dari Festival Teater Jakarta 2019 yang menyelenggarakan lomba pementasan drama setiap tahunnya untuk komunitas-komunitas teater kalangan generasi muda di Jakarta. Setelah menukar tiket di meja registrasi dan pintu teater di buka, saya langsung berbaris dan ikut mengantre. Sebelum masuk, tiap orang diberi satu kacamata 3 dimension vision dan satu sampah yang dibungkus plastik berwarna-warni. Sampah ini nantinya akan dilempar ke depan panggung sebelum pementasan drama dimulai.
Setelah semua penonton telah mendapat kursinya masing-masing dan suasana mulai kondusif, lampu teater perlahan redup menjadi gelap. Lalu sebuah video dokumenter dengan efek 3 dimension dimainkan. Video ini menayangkan bagaimana Kepulauan Seribu dan Pulau Untung Jawa tampak ketika masih asri dan terjaga hingga pada saat ini ketika sudah banyak sampah yang berserakan, di laut maupun di bibir pantai. Selama pemutaran video inilah kacamata 3 dimension vision yang tadi diberikan dapat digunakan. Video selesai, sinopsis dibacakan, lalu tibalah pada saat yang ditunggu-tunggu, yaitu pementasan drama itu sendiri. Layar perlahan naik ke atas, menampakkan latar panggung yang dihiasi dengan ratusan sandal-sandal bekas dan sebuah sampan yang menggantung. Kata-kata takjub spontan meluncur dari lisan saya.
Dan dimulailah pementasan drama dengan judul "Jaring Sampan" ini.
Memancing Asa
Drama ini dimulai dengan adegan ikan-ikan dan fauna laut lainnya yang berenang dengan bebas dan berkerumun begitu banyak yang diperankan oleh sekitar 20 pemain junior. Latar suara di kedalaman laut yang tenang berganti dengan suara bising dan sampah-sampah mulai berjatuhan dari atas. Seiring dengan banyaknya sampah yang mulai berjatuhan, ikan-ikan mulai menghilang, keluar dari panggung. Adegan pembuka inilah yang menghubungkan kita pada keseluruhan cerita. Tentang bagaimana manusia merusak ekosistem laut dan krisis kepedulian manusia akan kebersihan itu sendiri.
Di darat, delapan nelayan yang diperankan oleh Arfan Setiawan, Tohirullah, Ahmad Bustomi, Maliq Abdul Adzil, Bangkit Sanjaya, Akbar Fakhrizal, Satrio, dan Sammy datang ke pinggir laut, siap untuk memancing lengkap dengan joran yang menjulang dan sebuah ember. Kedelapannya berlari ke sudut yang berbeda, tetapi tetap bersebelahan satu sama lain, lalu mulai memancing. Pada awalnya, mereka mendapat ikan di tempatnya masing-masing hingga akhirnya mengerucut menjadi satu tempat beramai-ramai hingga berebut untuk memancing di satu tempat. Di belakang mereka, berjalan seorang yang tua renta bernama Kong Untung dengan membawa pengki, sapu dan keranjang sampah. Kong Untung menyapu dan membersihkan sampah-sampah yang berserakan, sedangkan sampah plastik itu tiada henti berjatuhan dari atas.
Di saat yang sama ketika Arfan dkk. ribut memancing, empat istri dari empat nelayan itu datang. Empat istri yang dimainkan oleh Siti Ainun, Vira Sintia, Susan, dan Indah ini datang dengan emosi yang memuncak, marah-marah karena suami yang harusnya mendahulukan kepentingan utama justru lebih memilih menghabiskan waktunya untuk memancing ikan. Terbukti dari dialog yang diucapkan oleh Ainun yang protes akan hidupnya yang begitu-begitu saja, sedangkan hidup orang lain sudah jauh lebih makmur darinya.
Di adegan lainnya, lima orang anak laki-laki menemukan pancingan yang ditinggal oleh Arfan dkk. sebelumnya, akan tetapi hasil tangkapan anak-anak tersebut bukanlah ikan seperti yang dipancing oleh nelayan, melainkan barang seperti radio dan kaus. Menurut saya, adegan ini merepresentasikan jika laut tidak segera dijaga kelestariannya dari sampah-sampah, generasi muda selanjutnya tidak akan bisa lagi mengenal biota yang ada di laut. Cerita berlanjut pada beberapa nelayan yang berhalusinasi akan membeli sebuah kapal selam dan kapal pesiar dengan ikan yang sudah ditangkapnya. Sementara yang sudah diketahui, ikan-ikan di pulau tempat mereka tinggal bahkan jumlahnya lebih sedikit dari sampah yang ada. Meski begitu, mereka tetap membayangkan mendapat ikan-ikan yang memenuhi ember-ember untuk dapat menaikkan taraf hidup mereka menjadi jauh lebih tinggi dari sejahtera.
Lalu, bagaimanakah nasib hidup para nelayan selanjutnya? Akankah Kong Untung dapat menyadarkan nelayan-nelayan tersebut? Dan yang terutama, bagaimanakah kelanjutan dan akan menjadi apakah pulau tersebut?
Tawa yang Tak Putus
Selama kurang lebih 1 jam pementasan ini berlangsung, jujur saja saya dan kakak saya sangat terhibur dengan lakon yang dimainkan. Drama yang dibumbui dengan komedi ini sukses menghadirkan gelak tawa dari berbagai penjuru teater. Dialog-dialog dan mimik wajah yang dikeluarkan sungguh terlihat natural dan humoristis. Akbar Fakhrizal yang berperan sebagai nelayan dengan gaya berbicara dan gerak-gerik tubuhnya yang jenaka selalu disahut oleh tawa. Kelakar yang dikeluarkannya menambah rasa humor dalam pementasan drama ini. Tidak hanya Akbar, nelayan lainnya pun turut andil dalam membuat drama ini menjadi lebih hidup dan segar.
"Ini laut apa distro?" Sindiran yang diucapkan oleh seorang anak lelaki ketika ia mendapat sebuah kaus saat memancing ini juga mengundang tawa yang pecah dan diikuti tepuk tangan yang riuh oleh seluruh penonton yang hadir. Lelucon dan candaan yang dilemparkan pun tidak kalah lucu. Belum lagi dengan tingkah laku jahil yang ditujukan kepada satu sama lain serta pada nelayan ketika mereka tertangkap sedang menggunakan joran para nelayan tersebut. Penonton di satu teater itu saya rasa benar-benar tertawa sepuas-puasnya dan sekeras-kerasnya. Saya yang sebelumnya tidak membayangkan drama ini akan menjadi selucu itu sangat merasa terhibur, pun dengan penonton yang lainnya.
Kepedulian yang Tak Merata
Saya masih ingat dengan prolog yang disampaikan sebelum drama dimulai yang mengisahkan tentang Kong Untung sebagai seorang yang tua renta namun masih bersemangat untuk mengembalikan keasrian pulau. Di dalam pementasan, Kong Untung sebagian besar memainkan perannya hanya dengan menyapu dan membersihkan sampah-sampah yang berada di sekeliling pantai. Tidak peduli sedang apa orang-orang di depannya, ia terus mengumpulkan sampah yang ada. Dari peran Kong Untung saya dapat memetik sesuatu, yang memiliki hasrat merusak banyak, yang mendahulukan kepuasan diri bergerombol, tetapi yang peduli hanya segelintir.
Unsur Visual yang Apik
Selain latar panggung yang berupa ratusan sandal bekas yang dirangkai (yang mana saya kira itu adalah tumbuhan laut) dan sampan yang tergantung dengan indahnya, ada satu visual yang menarik perhatian saya. Di tengah hingga akhir pementasan, sebuah video ditampilkan dengan samar di latar panggung dan menampilkan semburan-semburan yang berwarna. Saya berpendapat bahwa itu merupakan visualisasi dari limbah-limbah yang turut ikut mencemari lautan. Dan juga sampah yang tak hentinya jatuh dari atas, seperti memberitahu bahwa sampah yang datang ke pulau itu tiada hentinya. Sebuah simbolisasi yang saya kira cukup untuk dipahami dengan baik oleh penonton. Tanpa harus mengurangi estetika itu sendiri.
Kritik Kepedulian Manusia
Tidak hanya komedi, kritik kepedulian manusia akan kebersihan laut juga sangat ditonjolkan dalam pementasan drama ini. Hal ini dapat dilihat dari sebuah videografi di penghujung pementasan sebagai penutup yang menampilkan sebuah dokumenter tentang perjalanan sampah-sampah yang ada di pulau menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Cukup untuk membuat saya merasa miris hanya dengan melihat rutinitas para pekerja kebersihan tersebut, menjaring sampah, dikumpulkan, lalu dibawa ke pembuangan akhir. Sangat aneh dirasa jika melihat intensitas hubungan darat dan pulau hanya sebatas saling kirim mengirim sampah. Begitu terus dan seterusnya akan begitu, seperti tak ada titik terang dari permasalahan ini.
Apresiasi setinggi-tingginya saya berikan kepada Bambang Prihadi selaku pembimbing dan penggagas karya serta Aditya Jusendra selaku sutradara yang telah menyuguhkan pesan betapa kritisnya masalah sampah di kepulauan dan laut pada saat ini. Terima kasih telah menyadarkan saya tentang masalah sampah di laut yang kian menjadi momok bagi Indonesia.
.Devi Yuliantari Mercury
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H