"Ini laut apa distro?" Sindiran yang diucapkan oleh seorang anak lelaki ketika ia mendapat sebuah kaus saat memancing ini juga mengundang tawa yang pecah dan diikuti tepuk tangan yang riuh oleh seluruh penonton yang hadir. Lelucon dan candaan yang dilemparkan pun tidak kalah lucu. Belum lagi dengan tingkah laku jahil yang ditujukan kepada satu sama lain serta pada nelayan ketika mereka tertangkap sedang menggunakan joran para nelayan tersebut. Penonton di satu teater itu saya rasa benar-benar tertawa sepuas-puasnya dan sekeras-kerasnya. Saya yang sebelumnya tidak membayangkan drama ini akan menjadi selucu itu sangat merasa terhibur, pun dengan penonton yang lainnya.
Kepedulian yang Tak Merata
Saya masih ingat dengan prolog yang disampaikan sebelum drama dimulai yang mengisahkan tentang Kong Untung sebagai seorang yang tua renta namun masih bersemangat untuk mengembalikan keasrian pulau. Di dalam pementasan, Kong Untung sebagian besar memainkan perannya hanya dengan menyapu dan membersihkan sampah-sampah yang berada di sekeliling pantai. Tidak peduli sedang apa orang-orang di depannya, ia terus mengumpulkan sampah yang ada. Dari peran Kong Untung saya dapat memetik sesuatu, yang memiliki hasrat merusak banyak, yang mendahulukan kepuasan diri bergerombol, tetapi yang peduli hanya segelintir.
Unsur Visual yang Apik
Selain latar panggung yang berupa ratusan sandal bekas yang dirangkai (yang mana saya kira itu adalah tumbuhan laut) dan sampan yang tergantung dengan indahnya, ada satu visual yang menarik perhatian saya. Di tengah hingga akhir pementasan, sebuah video ditampilkan dengan samar di latar panggung dan menampilkan semburan-semburan yang berwarna. Saya berpendapat bahwa itu merupakan visualisasi dari limbah-limbah yang turut ikut mencemari lautan. Dan juga sampah yang tak hentinya jatuh dari atas, seperti memberitahu bahwa sampah yang datang ke pulau itu tiada hentinya. Sebuah simbolisasi yang saya kira cukup untuk dipahami dengan baik oleh penonton. Tanpa harus mengurangi estetika itu sendiri.
Kritik Kepedulian Manusia
Tidak hanya komedi, kritik kepedulian manusia akan kebersihan laut juga sangat ditonjolkan dalam pementasan drama ini. Hal ini dapat dilihat dari sebuah videografi di penghujung pementasan sebagai penutup yang menampilkan sebuah dokumenter tentang perjalanan sampah-sampah yang ada di pulau menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Cukup untuk membuat saya merasa miris hanya dengan melihat rutinitas para pekerja kebersihan tersebut, menjaring sampah, dikumpulkan, lalu dibawa ke pembuangan akhir. Sangat aneh dirasa jika melihat intensitas hubungan darat dan pulau hanya sebatas saling kirim mengirim sampah. Begitu terus dan seterusnya akan begitu, seperti tak ada titik terang dari permasalahan ini.
Apresiasi setinggi-tingginya saya berikan kepada Bambang Prihadi selaku pembimbing dan penggagas karya serta Aditya Jusendra selaku sutradara yang telah menyuguhkan pesan betapa kritisnya masalah sampah di kepulauan dan laut pada saat ini. Terima kasih telah menyadarkan saya tentang masalah sampah di laut yang kian menjadi momok bagi Indonesia.
.Devi Yuliantari Mercury
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H