Mohon tunggu...
Devita
Devita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional di UPN Veteran Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penggunaan Senjata Nuklir: Apakah Dapat Dihapus Atau Dapat Dibenarkan Secara Moral?

4 Juni 2023   17:10 Diperbarui: 4 Juni 2023   21:41 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: dok Reuters 

Semejak kemunculannya pertama kali pada tahun 1945 yang dibuat oleh Proyek Manhattan oleh Amerika Serikat, serta peledakan senjata nuklir terhadap kota Hiroshima dan Nagasaki menyebabkan senjata nuklir telah menjadi salah satu titik balik utama dalam sejarah peperangan dan sejarah umat manusia. Senjata nuklir juga menjadi salah satu isu utama dalam topik keamanan internasional dan perdamaian. Dikarenakan senjata nuklir yang bersifat sangat destruktif, hal ini mampu memengaruhi politik domestik dan internasional. Kemudian yang menjadi awal dalam proyek pengembangan senjata nuklir yang dilakukan oleh Amerika Serikat selama Perang Dunia II. Dan merupakan awal dari perlombaan pengembangan senjata nuklir yang dilakukan oleh banyak negara, salah satunya Uni Soviet.

Adanya perbedaan ideologi antara Amerika Serikat dan Uni soviet inilah yang menjadi penyebab kedua negara ini melakukan perlombaan senjata nuklir. Perlombaan senjata nuklir antara kedua negara ini terus berlanjut sampai berakhirnya perang dingin. Akibat yang ditimbulkan karena adanya perang dingin adalah penimbunan senjata nuklir oleh kedua negara tersebut. Hal inipun menimbulkan ke khawatiran terhadap banyak negara. Oleh karena itu, penggunaan senjata nuklir di dunia ini dibatasi karena ditakutkan akan menimbulkan konflik yang berujung pada perang nuklir.

Berbicara mengenai senjata nuklir, tentunya banyak pertanyaan muncul mengenai senjata ini. Diantaranya adalah apakah apakah senjata nuklir dapat dihapus? Seiring dengan dampak besar yang ditimbulkan dari berbagai segi kehidupan dan apakah penggunaan nuklir  demi memenangkan suatu peperangan dapat dibenarkan secara moral? Hal ini pun menuai dilema tersendiri yang nantinya akan diapaparkan secara jelas dibawah ini.

Kemunculan bom atom fat man dan little boy pada peristiwa pengeboman di Kota Hiroshima dan Nagasaki membuat banyak pihak menentang adanya pembuatan dan penggunaan senjata nuklir, sehingga mulai bermunculan perjanjian-perjanjian yang membatasi dan menentang adanya senjata tersebut. Salah satunya adalah Perjanjian Nonproliferasi Nuklir atau Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), yang berisi tentang pembatasan kepemilikan senjata nuklir. Terdapat tiga pilar utama dalam Perjanjian Nonproliferasi Nuklir terkait komitmen perlucutan senjata nuklir, non-proliferasi dan penggunaan bahan nuklir untuk tujuan damai. Perjanjian ini ditandatangani oleh 187 negara berdaulat pada tahun 1968 dan mulai berlaku pada tahun 1970 (Gartzke & Jo, 2009).

Dan untuk mengatasi ancaman senjata nuklir terhadap keberlangsungan peradaban manusia, pada Januari 1946, Sidang Umum Pertama PBB mengadopsi resolusi pertamanya, yakni sebuah tindakan yang menyerukan penggunaan energi atom secara damai dan penghapusan senjata atom dan senjata pemusnah massal lainnya. Kemudian PBB juga mendorong semua negara yang memegang teknologi nuklir untuk menandatangani Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir atau Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty (CTBT). Perjanjian ini melarang semua kegiatan peledakan nuklir dalam semua lingkungan baik untuk tujuan militer maupun sipil. Perjanjian ini berhasil dirampungkan pada Juni 1996 di Konferensi Perlucutan Senjata di Jenewa, namun baru dapat diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 September 1996.

Kemudian pada tahun 2017, dibuatlah Traktat Pelarangan Senjata Nuklir atau Treaty on the Prohibition on Nuclear Weapons (TPNW). Tujuan dibentuknya TPNW ini adalah pemusnahan total senjata nuklir yang mengancam perdamaian dunia. Tidak hanya melarang pengembangan, uji coba, pertukaran, penggunaan, dan penyimpanan senjata nuklir bagi negara anggota, tapi juga melarang mereka untuk menjadi ‘host’ bagi negara lain untuk melakukan aktivitas serupa. Selain itu, TPNW juga mengatur kewajiban negara untuk membantu korban yang terdampak oleh aktivitas nuklir, dengan cara memberikan jaminan kesehatan, psikologis, serta tunjangan ekonomi.

Keberadaan NPT, CTBT, dan TPNW mendorong adanya penghapusan penggunaan senjata nuklir di dunia. Terutama TPNW yang memiliki tujuan untuk memusnahkan senjata nuklir secara total. Tujuan dari TPNW ini juga didukung karena adanya pandangan negatif atas penggunaan senjata nuklir yang diakibatkan oleh latar belakang sejarah yang kelam. Seiring berjalannya waktu, senjata nuklir mulai kehilangan status politisnya dan membuat kebutuhan akan senjata tersebut semakin menurun. Sehingga harapan dari dibentuknya TPNW ini dapat terwujud, yiatu penghapusan penggunaan senjata nuklir secara total.

Terlepas dari hal ini, terdapat perdebatan lainnya mengenai apakah penggunaan senjata nuklir demi memenangkan perang dapat dibenarkan secara moral?

Beberapa ahli berpendapat tentang nuklir melaui berbagai pandangan sebagai berikut, dari sudut pandang realisme, penggunaan senjata nuklir digunakan sebagai alat untuk mencapai balance of power oleh suatu negara. Kenenth Waltz dalam artikelnya yang berjudul “The Spread of Nuclear Weapons: More May Be Better”  tersebut menyatakan ketika terjadi proliferasi senjata nuklir secara perlahan di berbagai negara maka yang akan terjadi adalah kestabilan, bukan perang nuklir seperti yang digaungkan sebelumnya (Waltz, 1981).

Namun terdapat konsep nuclear deterrence, yaitu jika sebuah negara menyerang negara yang memiliki senjata nuklir, maka negara tersebut akan membalas negara tersebut dengan menggunakan senjata nuklir yang akan menimbulkan kerusakan yang sangat besar terhadap negara tersebut. Dengan adanya pemikiran ini maka, suatu negara tidak akan berani menyerang duluan suatu negara yang memiliki senjata nuklir. Dalam hal ini, secara tidak langsung adanya pembenaran moral dalam pengunaan senjata nuklir, dimana digunakan untuk mempertahankan sebuah negara dari ancaman ataupun perang. Akan tetapi hal ini tidak seharusnya dibenarkan, dimana terdapat realita yang jelas dalam peristiwa Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 yang mengambarkan seberapa kejamnya senjata nuklir menghancurkan kehidupan manusia. Momen di mana kehidupan yang aman dan damai menjadi ancaman.

Kita harus menanamkan sense of moral terhadap senjata nuklir dan istilah "pencegahan", yang merupakan kata bersih untuk pembunuhan massal yang membabi buta dan masif. Secara ilmiah, ancaman nuklir merupakan kemajuan besar dalam perlombaan kuno antara yang baik dan yang jahat. Di sini para uskup (pimpinan gereja) ikut andil dimana mereka tidak hanya menghadapi masalah moral klasik di zaman kita, tetapi hampir tidak ada preseden moral teologis di bidang referensi mereka. Mereka hanya menggunakan dua kemungkinan preseden teologis yaitu teologi perang yang adil dan damai.

Mereka menggunakan apa yang dimiliki dalam bidang prinsip moral dan hampir mengakui bahwa prinsip utama perang yang adil tentang diskriminasi adalah tidak adanya pembunuhan warga sipil tak berdosa dan proporsionalitas yaitu tidak ada penggunaan kekuatan superior untuk membela diri. Praktis tidak ada artinya bila diterapkan pada perang nuklir. Saat menggunakan senjata nuklir, tidak boleh ada diskriminasi antara tentara dan warga sipil tak berdosa. Energi nuklir yang digunakan sangat besar sehingga percuma membicarakan proporsionalitas.

Sehingga para uskup melampaui prinsip proporsionalitas dan diskriminasi masa perang yang adil, yaitu sebagai berikut:

  • Memulai perang nuklir di tingkat mana pun secara moral tidak dapat diterima dalam keadaan apa pun.
  • Pertukaran energi nuklir yang terbatas juga harus dipertanyakan, karena belum tentu dapat dikendalikan. (Mereka bisa berkembang biak.)
  • Senjata nuklir tidak boleh digunakan untuk menghancurkan pusat populasi atau sasaran sipil. Sekalipun targetnya adalah militer atau industri, jika korban sipil terlalu tinggi, prinsip proporsionalitas mengesampingkan penargetan.
  • Kebijakan pencegahan secara moral dapat diterima hanya dalam kondisi yang ketat. Mereka tidak boleh menjadi tujuan itu sendiri, tetapi harus menjadi langkah menuju perlucutan senjata nuklir yang realistis dan progresif.
  • Perjanjian bilateral dan dapat diverifikasi segera untuk menghentikan pengujian.

(The Nuclear Dilemma: The Greatest Moral Problem of All Time 2023)

Terlepas dari hal tersebut, kita juga harus mengingat kembali akan dampak dari nuklir itu sendiri. Satu senjata nuklir yang diledakkan di atas kota besar saja dapat membunuh jutaan orang. Jika perang nuklir terjadi antara dua negara yang memiliki senjata nuklir, contohnya seperti Amerika Serikat dan Rusia, maka akan mengganggu iklim global serta menyebabkan kelaparan massal, serta jumlah korban yang diperkirakan mencapai ratusan juta orang karena penggunaan puluhan atau ratusan bom nuklir.

Kemudian ledakan nuklir adalah dapat menyebabkan cedera paru-paru, kerusakan telinga, hingga pendarahan dalam. Serta korban jiwa yang terluka oleh bangunan yang runtuh dan benda-benda yang terlempar akibat ledakan dari senjata nuklir. Panas yang ekstrim dapat menyebabkan luka bakar yang parah dan menimbulkan kebakaran yang dapat menyatu menjadi badai raksasa. Kemudian dampak jangka panjang terkait ledakan nuklir adalah kehancuran ekosistem makhluk hidup secara permanen dan masalah kesehatan yang memiliki jangka pendek dan jangka panjang dikarenakan efek radiasi dan dampak radioaktif yang dihasilkan oleh ledakan nuklir.

Dimana pada kenyatanya, terdapat risiko yang signifikan untuk penyebaran senjata nuklir dalam hal perdamaian dan stabilitas internasional. Negara yang memiliki senjata nuklir, besar kemungkinanya akan ditahan oleh kendala yang sama dengan kekuatan nuklir yang ada, dan dilarang terlibat dalam provokasi atau konflik. Selain hal itu perlu di ingat bahwa senjata nuklir adalah bom massa diamana saat di gunakan dalam peperangan dapat menghancurkan kestabilitas kehidupan dunia tidak hanya negara saja.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan senjata nuklir dapat dihapus dan tidak dibenarkan secara moral penggunaanya demi memenangkan peperangan. Dukungan dari berbagai negara dapat memperkuat signifikansi nilai-nilai yang terkandung dalam TPNW. 

Dan negara-negara yang sebelumnya percaya bahwa senjata nuklir adalah salah satu solusi pertahanan yang baik, di masa mendatang akan mengalami perubahan pikiran setelah melihat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan senjata nuklir. 

Pernyataan ini diperkuat dengan adanya kesadaram negara-negara akan pentingnya menjaga kelangsungan hubungan internasional. Sehingga, negara-negara dapat memutuskan untuk memilih menghilangkan kepemilikan dan keterlibatan mereka atas aktivitas senjata nuklir bahkan tanpa didasari oleh Traktat Pelarangan Senjata Nuklir atau Treaty on the Prohibition on Nuclear Weapons (TPNW). 

Kemudian, setelah negara-negara yang memilih untuk mengambil langkah tersebut berhasil untuk melepaskan fasilitas senjata nuklirnya, International Atomic Energy Agency (IAEA) akan memberlakukan pengamanan yang ketat guna menjamin kebenaran akan tidak ada lagi fasilitas yang tersisa untuk digunakan di masa yang akan datang.

Penulis: Nabila Amalia Romadhani; Devita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun