Mohon tunggu...
deviramahesa
deviramahesa Mohon Tunggu... Editor - mahasiswa

music, movie, animal

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Sudut Pandang Hukum Bisnis Terhadap Vonis 6,5 Tahun Kasus Korupsi 300 Triliun

9 Januari 2025   22:55 Diperbarui: 9 Januari 2025   22:55 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://www.kompas.com/tren/read/2024/12/29/110000965/termasuk-harvey-moeis-ini-6-tersangka-kasus-korupsi-timah-yang-divonis?utm_source=chatg

A. Latar Belakang Kasus Korupsi Harvey Moeis

 Kasus korupsi besar yang melibatkan Harvey Moeis, seorang pengusaha sekaligus suami selebriti Sandra Dewi, telah menjadi sorotan tajam masyarakat. Vonis 6,5 tahun penjara yang dijatuhkan oleh Hakim Ketua Aryanto pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Desember 2024, dinilai terlalu ringan mengingat besarnya kerugian negara yang mencapai Rp 300 triliun. Dari sudut pandang hukum bisnis, kasus ini memberikan banyak pelajaran penting terkait penegakan hukum, tata kelola perusahaan, implikasi terhadap kepercayaan publik, serta keberlanjutan ekonomi dan lingkungan.

 Harvey Moeis, sebagai perwakilan PT Refined Bangka Tin, bekerja sama dengan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah Tbk dalam mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah. Modus yang digunakan melibatkan penyewaan alat pemrosesan timah yang dijadikan kedok untuk menutupi aktivitas ilegal. Keuntungan dari kegiatan ini kemudian dialirkan kepada pihak-pihak terkait, termasuk Harvey Moeis, melalui mekanisme yang disamarkan sebagai dana corporate social responsibility (CSR).

Kerugian yang diakibatkan oleh kasus ini mencakup tiga aspek utama:

1. Kerugian Keuangan Negara: Kerugian langsung dari kerja sama antara PT Timah Tbk dan smelter swasta mencapai Rp 2,265 triliun.

2. Kerugian dari Pembayaran Biji Timah: Total kerugian ini tercatat sebesar Rp 26,649 triliun.

3. Kerugian Lingkungan: Aktivitas pertambangan ilegal menyebabkan kerusakan lingkungan senilai Rp 271,1 triliun, dengan total luas galian mencapai 170 juta hektar di kawasan hutan dan nonhutan Bangka Belitung.

B. Implikasi Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance)

 Kasus ini mencerminkan lemahnya implementasi tata kelola perusahaan (GCG) di perusahaan yang terlibat. Tata kelola yang baik seharusnya memastikan transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam setiap proses bisnis. Namun, dalam kasus ini, prinsip-prinsip tersebut diabaikan, sehingga mempermudah penyalahgunaan wewenang dan manipulasi kontrak bisnis. Salah satu pelajaran penting dari kasus ini adalah pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik bisnis. Perusahaan perlu memperkuat sistem pengendalian internal untuk mencegah potensi penyimpangan. Selain itu, lembaga pengawas seperti dewan komisaris dan auditor internal harus memiliki independensi yang lebih kuat dalam menjalankan tugasnya. Hal ini sejalan dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mengatur kewajiban perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

 Vonis 6,5 tahun penjara yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis menimbulkan kritik luas. Dari perspektif hukum bisnis, hukuman tersebut tidak memberikan efek jera yang memadai bagi pelaku maupun dunia usaha secara umum. Dengan tuntutan awal jaksa yang mencapai 12 tahun, hukuman yang lebih ringan ini menciptakan preseden negatif bahwa korupsi berskala besar tidak mendapatkan konsekuensi hukum yang setimpal. Efek jera yang diharapkan dalam sistem hukum seharusnya mencakup tiga elemen utama:

1. Hukuman yang Proposional: Hukuman harus sesuai dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan.

2. Pengembalian Kerugian Negara: Selain hukuman badan, pelaku harus diwajibkan mengembalikan seluruh keuntungan yang diperoleh secara ilegal.

3. Pencegahan Perilaku Serupa: Putusan pengadilan harus menjadi sinyal kuat bagi dunia usaha bahwa pelanggaran hukum akan mendapatkan sanksi berat.

 Namun, vonis dalam kasus ini tidak mencapai ketiga elemen tersebut. Selain hukuman badan yang ringan, kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar jauh dari total kerugian negara sebesar Rp 300 triliun. Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pelaku tindak pidana korupsi diwajibkan untuk membayar uang pengganti sebanding dengan kerugian negara yang ditimbulkan.

Sumber : https://www.liputan6.com/news/read/5579112/penampakan-perusahaan-timah-milik-harvey-moeis-di-bangka-belitung-yang-disita-kejagung
Sumber : https://www.liputan6.com/news/read/5579112/penampakan-perusahaan-timah-milik-harvey-moeis-di-bangka-belitung-yang-disita-kejagung

C. Kerugian Lingkungan dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan 

Dalam kasus ini, terdapat dampak signifikan terhadap lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT Refined Bangka Tin dan PT Timah Tbk. Luas galian yang mencapai 170 juta hektar menyebabkan kerusakan yang besar pada ekosistem, yang diperkirakan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk pemulihan. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusahaan memiliki kewajiban untuk menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan. Namun, dalam kasus ini, perusahaan tidak menunjukkan komitmen yang memadai untuk melakukan rehabilitasi lingkungan, yang merupakan aspek penting dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Ironisnya, program CSR yang seharusnya berfungsi untuk mendukung keberlanjutan sosial dan lingkungan malah disalahgunakan sebagai kedok untuk kegiatan ilegal. Program CSR ini sering kali menjadi alat untuk menutupi kelalaian dalam pengelolaan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan. Dalam konteks ini, perusahaan tidak hanya gagal memenuhi kewajiban lingkungan, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap niat mereka dalam menjalankan program CSR yang sebenarnya. Hal ini dapat berujung pada penurunan reputasi perusahaan dan hilangnya kepercayaan konsumen serta pemangku kepentingan lainnya. Dari sisi hukum bisnis, ketidakpatuhan perusahaan terhadap kewajiban lingkungan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang merugikan masyarakat dan lingkungan. 

 Selain itu, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip CSR juga mencederai hak-hak masyarakat yang seharusnya mendapatkan manfaat dari keberadaan perusahaan. Perusahaan seharusnya menjalankan kegiatan bisnisnya dengan mempertimbangkan keseimbangan antara keuntungan ekonomi dan dampak sosial serta lingkungan. Jika ini tidak dilakukan, perusahaan akan menghadapi risiko hukum yang dapat berujung pada sanksi atau tindakan perbaikan oleh pihak berwenang. Selain dampak lingkungan dan sosial, masalah lain yang muncul dalam kasus ini adalah lemahnya implementasi tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Prinsip-prinsip GCG seperti transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan kewajaran tidak diterapkan dengan baik oleh PT Refined Bangka Tin dan PT Timah Tbk. Contohnya, tidak adanya laporan yang jelas mengenai aktivitas pertambangan dan keuangan perusahaan kepada pemegang saham dan publik. Hal ini mencerminkan rendahnya transparansi yang merupakan salah satu aspek penting dalam tata kelola perusahaan yang baik. Lebih lanjut, akuntabilitas perusahaan juga terabaikan, di mana dewan direksi dan komisaris gagal menjalankan fungsi pengawasan mereka sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 97 dan 108 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Keberadaan dewan komisaris dan direksi dalam perusahaan seharusnya berfungsi untuk memastikan bahwa perusahaan beroperasi dengan mempertimbangkan aspek hukum dan kepentingan stakeholder. Jika fungsi pengawasan ini tidak dijalankan dengan baik, maka perusahaan berisiko menghadapi masalah hukum yang lebih besar, baik dari sisi lingkungan, sosial, maupun aspek tata kelola perusahaan yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku.

Kesimpulan

 Kasus Harvey Moeis menjadi refleksi nyata atas tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam penegakan hukum dan tata kelola bisnis. Vonis ringan dalam kasus ini tidak hanya menimbulkan kekecewaan publik tetapi juga menciptakan preseden negatif bagi dunia usaha. Dengan reformasi hukum yang tepat, penguatan tata kelola perusahaan, dan pengawasan yang lebih ketat, diharapkan kasus serupa dapat dicegah di masa depan. Penegakan hukum yang adil dan tegas merupakan langkah penting untuk memulihkan kepercayaan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Referensi

Saubani, A. (2024). Analisis Hubungan Antara Kasus Korupsi Harvey Moeis dan Setya Novanto serta Kaitannya dengan Hukum Tata Negara dan Undang-Undang NRI 1945. Eksekusi, 3(1), 112--122. 

Nugroho, R. A. (2024). Social Media Network Analysis Corruption Harvey Moies on Twitter. Jurnal Ilmu Sosial dan Manajemen Bisnis, 7(2), 1--10. 

Suyatmiko, W. H. (2024). Praktik Sosial Budaya pada Berita Daring Kasus Korupsi Harvey Moeis. Jurnal Ilmu Komunikasi, 7(2), 1--10. 

Mutia, C. (2024). Hukum Vonis Ringan Harvey Moeis di Kasus Korupsi PT Timah. Jurnal Sembilan, 1(1), 1--10. 

Nugroho, R. A. (2024). Studi Kasus Korupsi 271 Triliun pada Kompas.com, Liputan6.c. Jurnal Ilmu Komunikasi Nusantara, 1(1), 1--10.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun