Mohon tunggu...
deviramahesa
deviramahesa Mohon Tunggu... Editor - mahasiswa

music, movie, animal

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Sudut Pandang Hukum Bisnis Terhadap Vonis 6,5 Tahun Kasus Korupsi 300 Triliun

9 Januari 2025   22:55 Diperbarui: 9 Januari 2025   22:55 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://www.kompas.com/tren/read/2024/12/29/110000965/termasuk-harvey-moeis-ini-6-tersangka-kasus-korupsi-timah-yang-divonis?utm_source=chatg

1. Hukuman yang Proposional: Hukuman harus sesuai dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan.

2. Pengembalian Kerugian Negara: Selain hukuman badan, pelaku harus diwajibkan mengembalikan seluruh keuntungan yang diperoleh secara ilegal.

3. Pencegahan Perilaku Serupa: Putusan pengadilan harus menjadi sinyal kuat bagi dunia usaha bahwa pelanggaran hukum akan mendapatkan sanksi berat.

 Namun, vonis dalam kasus ini tidak mencapai ketiga elemen tersebut. Selain hukuman badan yang ringan, kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar jauh dari total kerugian negara sebesar Rp 300 triliun. Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pelaku tindak pidana korupsi diwajibkan untuk membayar uang pengganti sebanding dengan kerugian negara yang ditimbulkan.

Sumber : https://www.liputan6.com/news/read/5579112/penampakan-perusahaan-timah-milik-harvey-moeis-di-bangka-belitung-yang-disita-kejagung
Sumber : https://www.liputan6.com/news/read/5579112/penampakan-perusahaan-timah-milik-harvey-moeis-di-bangka-belitung-yang-disita-kejagung

C. Kerugian Lingkungan dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan 

Dalam kasus ini, terdapat dampak signifikan terhadap lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT Refined Bangka Tin dan PT Timah Tbk. Luas galian yang mencapai 170 juta hektar menyebabkan kerusakan yang besar pada ekosistem, yang diperkirakan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk pemulihan. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusahaan memiliki kewajiban untuk menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan. Namun, dalam kasus ini, perusahaan tidak menunjukkan komitmen yang memadai untuk melakukan rehabilitasi lingkungan, yang merupakan aspek penting dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Ironisnya, program CSR yang seharusnya berfungsi untuk mendukung keberlanjutan sosial dan lingkungan malah disalahgunakan sebagai kedok untuk kegiatan ilegal. Program CSR ini sering kali menjadi alat untuk menutupi kelalaian dalam pengelolaan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan. Dalam konteks ini, perusahaan tidak hanya gagal memenuhi kewajiban lingkungan, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap niat mereka dalam menjalankan program CSR yang sebenarnya. Hal ini dapat berujung pada penurunan reputasi perusahaan dan hilangnya kepercayaan konsumen serta pemangku kepentingan lainnya. Dari sisi hukum bisnis, ketidakpatuhan perusahaan terhadap kewajiban lingkungan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang merugikan masyarakat dan lingkungan. 

 Selain itu, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip CSR juga mencederai hak-hak masyarakat yang seharusnya mendapatkan manfaat dari keberadaan perusahaan. Perusahaan seharusnya menjalankan kegiatan bisnisnya dengan mempertimbangkan keseimbangan antara keuntungan ekonomi dan dampak sosial serta lingkungan. Jika ini tidak dilakukan, perusahaan akan menghadapi risiko hukum yang dapat berujung pada sanksi atau tindakan perbaikan oleh pihak berwenang. Selain dampak lingkungan dan sosial, masalah lain yang muncul dalam kasus ini adalah lemahnya implementasi tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Prinsip-prinsip GCG seperti transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan kewajaran tidak diterapkan dengan baik oleh PT Refined Bangka Tin dan PT Timah Tbk. Contohnya, tidak adanya laporan yang jelas mengenai aktivitas pertambangan dan keuangan perusahaan kepada pemegang saham dan publik. Hal ini mencerminkan rendahnya transparansi yang merupakan salah satu aspek penting dalam tata kelola perusahaan yang baik. Lebih lanjut, akuntabilitas perusahaan juga terabaikan, di mana dewan direksi dan komisaris gagal menjalankan fungsi pengawasan mereka sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 97 dan 108 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Keberadaan dewan komisaris dan direksi dalam perusahaan seharusnya berfungsi untuk memastikan bahwa perusahaan beroperasi dengan mempertimbangkan aspek hukum dan kepentingan stakeholder. Jika fungsi pengawasan ini tidak dijalankan dengan baik, maka perusahaan berisiko menghadapi masalah hukum yang lebih besar, baik dari sisi lingkungan, sosial, maupun aspek tata kelola perusahaan yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku.

Kesimpulan

 Kasus Harvey Moeis menjadi refleksi nyata atas tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam penegakan hukum dan tata kelola bisnis. Vonis ringan dalam kasus ini tidak hanya menimbulkan kekecewaan publik tetapi juga menciptakan preseden negatif bagi dunia usaha. Dengan reformasi hukum yang tepat, penguatan tata kelola perusahaan, dan pengawasan yang lebih ketat, diharapkan kasus serupa dapat dicegah di masa depan. Penegakan hukum yang adil dan tegas merupakan langkah penting untuk memulihkan kepercayaan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun