Beberapa waktu lalu, ada mahasiswa dari sebuah universitas swasta di kota Jakarta menghubungi saya. Katanya, nama dan nomer saya direkomendasikan oleh salah seorang kolega saya. Mahasiswa itu dan temannya meminta kesediaan saya, sebagai psikolog klinis, diwawancarai untuk tugas mata kuliah psikologi klinis.
Ini kali ketiga saya diwawancarai oleh mahasiswa. Dua kali sebelumnya adalah sebelum saya sah menjadi psikolog klinis. Pada kesempatan kali ini fokus pertanyaannya seputar dunia profesi psikolog klinis dan proses perkuliahan magister profesi psikologi klinis.
Ada satu pertanyaan menarik yang mereka ajukan, yaitu tentang kesalahan diagnosis dan penanganan.
Pada awalnya saya menangkap pertanyaan itu tentang hasil yang tidak sesuai harapan klien. Terkadang penanganan yang dilakukan menimbulkan reaksi yang kurang diinginkan.
Bukan berarti itu salah. Perilaku-perilaku tidak diinginkan yang muncul bisa jadi adalah bagian dari proses penanganan. Contohnya, penanganan pada anak terlambat berbicara (speech delay).
Orang tua membawa anaknya ke psikolog atau terapis dengan keluhan ketiadaan atau ketidakjelasan kata/kalimat yang diucapkan anaknya. Lalu oleh psikolog/terapis diberikan penanganan tertentu.
Bulan depannya, orang tua anak itu datang dengan keluhan bahwa anaknya tidak berhenti mengoceh sendiri sampai tengah malam. Dan itu dianggap aneh dan mengganggu.
Padahal hal itu adalah proses dari penanganan kasus speech delay. Bagus donk si anak rajin mengoceh. Itu tandanya otot wicaranya semakin kuat, kosa katanya mulai banyak, dan si anak menikmati kemampuan barunya. Sama seperti kita baru mendapatkan barang yang menarik. Setiap hari kita pegang dan gunakan meski tidak butuh-butuh amat. Lagi maruk-maruknya. Dan itu wajar.
Lalu kedua mahasiswa itu meralat pertanyaannya. Yang mereka tanyakan adalah tentang psikolog yang salah memberikan diagnosis atau penanganan. Apa yang harus dilakukan?
Waduh!
Inilah resiko terberat dari profesi psikolog klinis. Kami bekerja dengan kejiwaan orang. Kami tidak membuat orang mati, tetapi kami dapat mengubah cara pandangnya terhadap dunia dan masa depan yang tentu akan berpengaruh pada kualitas hidupnya secara keseluruhan. Ini bukan profesi main-main.
Prosesnya berat dan panjang, resikonya besar. Lisensi yang diterima seorang psikolog klinis adalah power untuk menyentuh, mengubah, memperbaiki atau malah merusak kejiwaan orang.
Lalu bagaimana menjawab pertanyaan ini?
Saya katakan pada mereka: jangan salah! Kalau sekedar kurang mendalam atau kurang pas, masih dapat ditoleransi. Ini persoalan jam terbang. Makanya seorang psikolog klinis pemula sebaiknya masih di bawah supervisi psikolog klinis senior, atau proaktif melakukan diskusi dengan yang sudah berpengalaman dan rekan sejawat, serta senantiasa meningkatkan kompetensi. Hal ini dibutuhkan untuk meminimalkan blind spot yang beresiko mengganggu saat menangani klien.
Bahkan sebelum menjadi mahasiswa magister psikologi klinis wajib lakukan self assesment terlebih dahulu untuk mengetahui kondisi diri secara mendalam, termasuk value, inner child, luka batin, dan batasan-batasan yang dimiliki. Kenapa sebelum menjadi mahasiswa? Supaya kita dapat menakar kemampuan dalam menjalani kegiatan perkuliahan dan keprofesian (setelah lulus).
Supaya tidak kagetan, tidak histeris, dan tidak menyesal. Setelah berpengalamanpun bukan berarti proses ini berhenti. Menjadi seorang psikolog klinis berarti bersedia untuk berproses dan belajar seumur hidup. Psikolog juga butuh guru. Psikolog juga butuh support system. Psikolog juga butuh psikolog.
Jadi, jangan heran jika masa studi yang ditempuh di majoring psikologi klinis jauh lebih panjang daripada majoring yang lain.
Diagnosis klinis baru dapat ditegakkan setelah proses asesmen yang mendalam (bergantung jam terbang) dan core masalah didapatkan. Tidak simptomatik. Tidak ujug-ujug baru ketemu sekali dua kali sudah jatuh label, "wah ini disosiatif" atau "bipolar nih" atau "beneran nih fanatic paranoid dengan fitur narsisistik". Enggak gitu yah.... Justru banyak juga kasus yang ditangani psikolog bukanlah kasus yang ada di kitab suci gangguan kejiwaan (DSM). Artinya, bukan ranah gangguan (disorder).
Psikolog klinis juga tidak menggunakan obat-obatan, walaupun pada kasus-kasus psikologis yang ada indikasi masalah fisiologis (misalnya saraf, hormon, dll) akan ada kerja sama dengan rekan dokter/psikiater untuk terapi obat. Diusahakan sedapat mungkin kasus psikologis tidak perlu mengkonsumsi obat. Prosesnya lebih lama tetapi hasilnya juga akan bertahan lama.
Semoga bermanfaat,
Devira Sari, Psikolog
Balikpapan, 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H