Prosesnya berat dan panjang, resikonya besar. Lisensi yang diterima seorang psikolog klinis adalah power untuk menyentuh, mengubah, memperbaiki atau malah merusak kejiwaan orang.
Lalu bagaimana menjawab pertanyaan ini?
Saya katakan pada mereka: jangan salah! Kalau sekedar kurang mendalam atau kurang pas, masih dapat ditoleransi. Ini persoalan jam terbang. Makanya seorang psikolog klinis pemula sebaiknya masih di bawah supervisi psikolog klinis senior, atau proaktif melakukan diskusi dengan yang sudah berpengalaman dan rekan sejawat, serta senantiasa meningkatkan kompetensi. Hal ini dibutuhkan untuk meminimalkan blind spot yang beresiko mengganggu saat menangani klien.
Bahkan sebelum menjadi mahasiswa magister psikologi klinis wajib lakukan self assesment terlebih dahulu untuk mengetahui kondisi diri secara mendalam, termasuk value, inner child, luka batin, dan batasan-batasan yang dimiliki. Kenapa sebelum menjadi mahasiswa? Supaya kita dapat menakar kemampuan dalam menjalani kegiatan perkuliahan dan keprofesian (setelah lulus).
Supaya tidak kagetan, tidak histeris, dan tidak menyesal. Setelah berpengalamanpun bukan berarti proses ini berhenti. Menjadi seorang psikolog klinis berarti bersedia untuk berproses dan belajar seumur hidup. Psikolog juga butuh guru. Psikolog juga butuh support system. Psikolog juga butuh psikolog.
Jadi, jangan heran jika masa studi yang ditempuh di majoring psikologi klinis jauh lebih panjang daripada majoring yang lain.
Diagnosis klinis baru dapat ditegakkan setelah proses asesmen yang mendalam (bergantung jam terbang) dan core masalah didapatkan. Tidak simptomatik. Tidak ujug-ujug baru ketemu sekali dua kali sudah jatuh label, "wah ini disosiatif" atau "bipolar nih" atau "beneran nih fanatic paranoid dengan fitur narsisistik". Enggak gitu yah.... Justru banyak juga kasus yang ditangani psikolog bukanlah kasus yang ada di kitab suci gangguan kejiwaan (DSM). Artinya, bukan ranah gangguan (disorder).
Psikolog klinis juga tidak menggunakan obat-obatan, walaupun pada kasus-kasus psikologis yang ada indikasi masalah fisiologis (misalnya saraf, hormon, dll) akan ada kerja sama dengan rekan dokter/psikiater untuk terapi obat. Diusahakan sedapat mungkin kasus psikologis tidak perlu mengkonsumsi obat. Prosesnya lebih lama tetapi hasilnya juga akan bertahan lama.
Semoga bermanfaat,
Devira Sari, Psikolog
Balikpapan, 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H