Mohon tunggu...
Devira Sari
Devira Sari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Saya adalah Psikolog yang menyukai dunia tulis menulis dan Sastra. Tarot Reader. A Lifelong Learner. INFJ-A. Empath. Sagittarian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Unfinished Issue

24 Juli 2021   10:00 Diperbarui: 24 Juli 2021   10:20 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Saya bisa buat kamu bahagia kan?"

Tetiba ia berbelok dari topik awal. Sejenak aku tertegun. Netra itu, untuk pertama kalinya aku benar-benar menatapnya. Tidak tajam, namun ada kedalaman yang tak terjangkau di sana. Jika tidak berhati-hati, orang pasti akan tenggelam dan terjebak di sana selamanya.

Aku tidak suka dengan hal-hal absurd di keseharian. Jemu dengan rutinitas. Muak dengan kepatuhan yang terpaksa. Bosan dengan keramahan yang dibuat-buat. Tapi siapalah aku yang hanya rakyat jelata ini. Sebutlah aku apa saja yang kalian mau, silahkan. Tak ada hal yang kuinginkan saat itu selain bisa keluar dari situ, agar bisa segera mendengarkan nyanyian sendalu yang menggoda ranting pepohon di luar sana. Menulis beberapa puisi tentang hujan dan rindu. Atau sekedar menatap langit dan menerka-nerka ramalannya.

"Bisa kan?" tegasnya. Seketika lamunku buyar. Dan masih saja netra itu urung melemah.

"Iya. Bisa." Jawabku. Klise.

Sejak kapan dia mengenalku? Aku tak pernah memperhatikannya. Hanya saja dia sering memanggil namaku jika bertemu dimanapun itu. Setelah pertemuan kali itu, pertemuan berikutnya menjadi lebih sering dan terasa lebih intens. Ada banyak hal yang kami diskusikan dan lakukan bersama. Kebersamaan kami terasa nyaman dan menyenangkan. Aku mulai memperhatikannya.

Sepi -- satu kata yang dapat mendeskripsikan dirinya. Dibalut dengan ketenangan malaikat dan ketangguhan kesatria yang diciptakannya di permukaan. Ada istana megah dengan singgasana besar di sana. Pilar-pilar kokoh menjulang menopang langit-langit yang tinggi. Tapi...dimana keberadaan para abdi dan handai taulan? Mereka yang selalu wara wiri di kehidupannya, menyanjung, bergantung dan membutuhkan bantuannya. Tak satupun ada di sana.

Familiar rasanya. Aku pernah mengenal seseorang dengan kedalaman jiwa sekaligus kekosongan hati yang sama dengannya. Aku mulai bersimpati padanya.

Tapi tunggu! Ada yang berbeda di sana, di ruang kosong dan dingin itu. Di tengahnya ada perapian besar yang menyala-nyala tanpa kendali, yang baranya bisa membinasakan. Ada dendam bersemayam di sana. Pantas saja ruangan ini terasa dingin. Api dendam memang tidak memancarkan kehangatan, namun jika kau menyentuhnya, seketika itu pula kau akan binasa.

Apa dan siapa yang telah melukainya? Tampaknya luka itu sudah lama dan urung menutup. Atau mungkin dia memang sengaja membiarkannya begitu. Menjadi motivasi yang mendorongnya naik, menjadi setinggi-tingginya, agar tak ada lagi yang dapat melukainya.

Kegelisahan terlihat jelas di sana, di sisi ruangan, di dekat singgasananya yang terlindung tembok-tembok raksasa. Sebenarnya apa yang dicarinya? Dan kenapa dia bersembunyi? Aku tak dapat menemukan jawabannya. Mungkin dia hanya tak temukan rumus untuk menyederhanakan maksudnya dan membuat orang lain mengerti. Aah tidak, tampaknya dia memang tak sudi membaginya dengan siapapun. Aku yakin tak pernah ada yang berhasil menembus tatapan netranya, menyelami kedalamanan jiwanya, dan meruntuhkan tembok-tembok besar di sana. Akulah orang pertama yang pernah berada di tempat itu.

Netral itu masih begitu dalam. Api di sana semakin menyala-nyala menggila, tak pernah meredup meski sedikit. Tembok-tembok yang menjulang, menghardik siapapun yang mencoba mendekatinya. Hanya tinggal menunggu waktu sebelum dia menenggelamkan dirinya sendiri di sana. Terbakar perlahan. Dan tak ada yang dapat menyelamatkannya.

Please, just let it go....

Sore itu, kurasakan sedikit gentar di tubuhnya. Mungkinkah dia akan menyerah? Menyerah dan memadam gejolak bara itu, atau malah menyerahkan dirinya untuk dilahap habis oleh baranya sendiri? Aku tak pernah suka perdebatan. Kurasa dia pun telah lelah dengan argumen dan spekulasinya sendiri. Jadi kubiarkan saja hening merajai masa.

Di ruang itu, benda-benda statis menonton dalam senyap. Hanya detik yang mengisi kebisuan. Jika saja deretan cangkir di atas meja itu hidup, mungkin mereka akan saling membenturkan diri dengan suka rela, supaya gaduh. Begitu pula jejeran plakat di meja sebelahnya, mungkin mereka akan tertawa terbahak-bahak, supaya ramai. Pun detik jam dinding akan mulai ber-reggae ria, supaya riang.

Terus saja begitu. Apa yang dicarinya? Kenapa dia bersembunyi? Mungkin dia pun tak mengetahui jawabannya. Sepertinya sebentar lagi jiwanya akan digadaikan kepada roh jahat, berharap tumpas gelisahnya. Sudah cukup berhari-hari mendengarkannya meracau. Aku tak sanggup lagi. Panas api itu sedikit demi sedikit telah membuatku lepuh. Defisit oksigen membuatku sesak. Ada ketidakwarasan yang diam-diam membuat sarang dalam kepalaku.

Aku menyerah. Biar saja.

Perlahan bidang bahunya luluh. Semakin jelas lah lengkung tulang punggungnya, berusaha menopang sisa-sisa egonya.

"Maaf ya..." lirih terdengar suaranya. Sayupnya memecah hening. Sepasang netra itu telah kehilangan sebagian besar dayanya. Aah, terserahlah. Aku menghela napas panjang dan berlalu dalam bungkam.

Setelahnya semua tidak lagi sama. Kami bertemu kembali. Jabat tangan itu tanda perpisahan kami.

Jarak menjelma hantu-hantu yang bergentayangan dalam mimpi-mimpi dini hari yang menakutkan. Netra itu, menatap sekian hasta di sana. Tubuhnya samar tertutup bayang-bayang berkabut lelembut. Gemuruh memekakkan telinga. Aku ingin memekik namun leherku tercekat. Aku ingin lari dari sana. Tapi kemana? Berlari dalam labirin gelap yang membingungkan. Hei, kenapa aku malah lari ketakutan? Sebenarnya apa sih maunya, mengejarku sampai kemari? Lama-lama aku bisa menjadi gila dibuatnya. Oke, aku pasrah pada kekuatan semesta, menerabas hantu-hantu yang bergentayangan untuk menemukan keberadaannya. Gemuruh mereda, kabut lelembut tersibak, dan makna demi makna mulai terungkap. Kemudian, di sana lah dirinya, berdiri beberapa hasta di depanku. Terlihat dengan jelas.

"Dev, I'm sorry. I...." Tembok itu telah runtuh. Netra itu meredup, tak ada bara lagi di sana. Ia telah menyerah.

Kuhembuskan napas berat dan panjang. Rasanya ingin tertawa dengan perasaan yang terlalu kompleks untuk dijelaskan. Aku memang sering berkonflik dengan jenis figur otoritas tertentu, namun ada otoritas dengan ke-Maha-an yang tak pernah gagal mengendalikanku. Ya, aku mengerti petunjuk itu. Namun, aku biarkan saja dia yang menyelesaikan isu yang telah dimulainya. Aku punya banyak hal yang perlu diurus.

 

TAMAT

 

Devira Sari

Jakarta, 04 November 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun