Mohon tunggu...
Devira Sari
Devira Sari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Saya adalah Psikolog yang menyukai dunia tulis menulis dan Sastra. Tarot Reader. A Lifelong Learner. INFJ-A. Empath. Sagittarian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Reminisensi

10 Juli 2021   10:00 Diperbarui: 10 Juli 2021   10:16 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah foto yang paling aku sukai. Foto lawas pernikahan kami, terpajang dalam pigura syang indah di dinding ruang tamu. Aku tak pernah bosan memandangi tawa di wajah kekasih hatiku di foto ini. Sejak awal kami bertemu, tak ada hal yang aku inginkan selain membuatnya bahagia. Aku rela melakukan apapun demi melihatnya tersenyum dan tertawa. Hanya ada tiga perempuan yang pernah mengisi hidupku dan istriku adalah yang paling aku cintai.

Baru tadi pagi dia pergi untuk menjadi pembicara di sebuah instansi yang mengundangnya, sekarang aku sudah merindukannya. Aku tak sabar ingin bertemu dengannya. Sore ini kami berjanji bertemu di sebuah taman kota sekitar sepuluh menit perjalanan dari rumah kami. Sebenarnya aku ingin ke tempat yang lebih bagus, hanya saja aku tidak mampu melakukan perjalanan jauh tanpa menjadi sangat kelelahan. Efek dari kecelakan waktu itu baru terasa setelah fisikku mulai renta. Aku tak ingin sakit-sakitan sehingga dia harus merawatku, terutama di hari ini.

Pertama sekali aku bertemu dengannya aku langsung terpana dengan pesonanya. Saat itu bagian CSR di kantorku bekerja sama dengan yayasan tempatnya bekerja untuk membuat program sosial untuk anak. Dia datang sebagai perwakilan yayasan tersebut. Dia memang cantik alami. Wajahnya syahdu dan polos, bibirnya yang kemerahan membuat kulitnya yang putih tidak terlihat pucat. Pakaiannya juga sederhana saja tapi cocok sekali dengan dirinya. Tatapan matanya sendu namun waspada sekali. Rambutnya yang tidak terlalu panjang dikuncir ekor kuda, ada bagian rambut tipis yang tertinggal di dahi, pelipis dan tengkuknya. Langkahnya gesit sekali. Setiap dia berjalan cepat kuncir rambutnya akan bergoyang. Dari sisi manapun aku tidak dapat menemukan cacatnya. Bagiku ia seperti bidadari yang tersesat di belantara bumi yang fana.

Dari paras wajahnya aku yakin usianya masih sangat muda. Namun pola pikirnya matang sekali, lebih matang dibandingkan perempuan yang sebaya denganku. Dia benar-benar membuatku penasaran. Aku mulai mencari tahu tentangnya.

Ternyata ia masih mahasiswa yang juga sedang bekerja di yayasan yang aktif memperjuangkan isu-isu kesejahteraan dan pengasuhan anak. Yang lebih mengejutkan lagi, dia tinggal di shelter yayasan sejak enam tahun yang lalu. Dia menjadi salah satu pengurus shelter yang bertugasnya mendampingi dan mengajar anak-anak yang ditampung di sana. Empat tahun yang lalu? Apa dia juga salah satu anak yang ditampung di shelter? Kemana orang tuanya?

Aku terus mendekatinya. Dia gadis yang menyenangkan dan mampu membuat orang lain nyaman berada di dekatnya. Akan tetapi, mendapatkan hatinya bukanlah persoalan mudah. Dia tidak mau mengekspresikan perasaannya atau sekedar bercerita tentang kehidupan pribadinya. Aku membawanya ke tempat-tempat bagus dan menghujaninya dengan hadiah-hadiah. Semua hadiah itu dikembalikannya.

Sekian tahun kami berteman, aku sudah mengenal kebiasaannya dan aku menghormati privasinya. Dia pun mulai nyaman denganku dan pelan-pelan mulai membuka diri. Masa kecilnya penuh dengan kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya. Ayahnya yang berwatak keras dan kasar membuat ibunya tidak tahan dan berselingkuh dengan lelaki lain. Kemudian ibunya pergi bersama lelaki itu dengan hanya membawa adiknya. Hidup berdua dengan ayah yang kasar seperti berada di neraka dunia. Namun nasibnya baik, ia bertemu dengan seseorang yang bekerja di bidang perlindungan anak. Mendengar kisah hidupnya, dia dibantu untuk lepas dari dari ayahnya. Kemudian dia dibawa ke sebuah yayasan dan diijinkan tinggal di shelter. Setelah itu hidupnya mulai membaik. Setelah menyelesaikan sekolahnya, dia  bekerja menjadi pengurus shelter. Pihak yayasan juga mencarikan sponsor untuknya agar dapat melanjutkan studi.

Berbeda dengannya, aku adalah anak tunggal yang tidak pernah kekurangan materi maupun kasih sayang dari orang tua. Masa kecilku sangat bahagia. Orang tuaku sangat perhatian dengan kebutuhan dan pendidikanku sehingga aku tumbuh menjadi pemuda yang percaya diri. Mereka lama memiliki anak karena ibuku kurang subur. Aku baru lahir di tahun ke sembilan pernikahan mereka. Kami menjalani kehidupan yang membahagiakan. Lulus kuliah aku langsung mendapatkan pekerjaan bagus di perusahaan bonafit di ibu kota. Ayahku meninggal dunia karena penyakit menahun tak lama setelah aku mendapatkan pekerjaan.

Karirku sangat lancar dan penghasilanku tinggi. Aku membeli sebuah rumah yang lebih besar dan nyaman, lalu mengajak ibuku pindah. Ibuku tidak pernah memaksakan keinginannya padaku. Hanya saja, ibuku selalu mengingatkanku untuk mencari pasangan hidup mengingat aku sudah cukup usia dan mapan. Aku tidak pernah membantah kata-kata ibuku, namun aku tidak menginginkan perempuan yang lain. Walaupun harus berusaha sampai puluhan tahun, aku tetap hanya ingin dengannya.

Butuh tujuh tahun bagiku untuk dapat meluluhkan hatinya. Ibuku sangat senang saat kubawa menantunya tinggal bersama di rumahku. Aku sangat menikmati kemenangan itu. Tahun ketiga pernikahan kami, aku mulai menyadari bahwa aku sama seperti ibuku. Aku perlu menjalani berbagai perawatan untuk dapat memiliki anak. Namun, aku tetap yakin jika ibuku yang hidup di jaman dulu saja bisa punya anak, maka aku pun demikian.

"Mungkin Tuhan menganggapku tidak pantas jadi ibu," kata-kata istriku menggoyahkan kepercayaan diriku. Dia malah menyalahkan dirinya sendiri. Pengalaman dan perlakukan buruk dari orang tuanya di masa kecil tidak hanya membuatnya takut berkeluarga. Dia juga takut tidak mampu menjadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya sendiri. Hatiku perih melihatnya nelangsa seperti itu. Aku meyakinkannya bahwa kami pasti akan memiliki anak. Uang tak menjadi soal buatku.

Tahun ke tujuh pernikahan, putri kecil kami lahir dengan sehat dan cantik seperti ibunya. Lengkap sudah keluarga kecil kami. Aku, dia, ibuku, dan gadis kecil kami hidup bahagia bersama. Merekalah tiga perempuan dalam hidupku, nyawa hidupku. Tiada hari tanpa tawa di rumah kami. Namun, kecelakaan itu mengubah segalanya. Di malam yang naas, aku membawa istri dan anakku keluar. Aku tidak menyadari ada truk besar yang oleng dan menabrak mobil kami dari sebelah kanan. Gadis kecilku yang duduk di belakang terlempar keluar jendela dan tewas seketika. Aku mengalami patah berbagai tulang dan koma selama satu bulan. Istriku cukup parah, namun ia selamat dan sudah berangsur pulih saat aku sadar dari koma. Ibuku merawat kami berdua saat masih di rumah sakit. Ibuku juga yang mengurus pemakaman gadis kecilku.

Kesadaranku bukanlah hal yang kusukuri. Aku sulit menerima kenyataan bahwa gadis semata wayangku yang masih berusia enam tahun itu, yang kehadirannya begitu kami nantikan, sudah tiada. Setiap hari aku juga harus menyaksikan kantung tebal di bawah mata ibuku yang menangis setiap malam. Istriku tampak kelelahan mengurusi segala hal termasuk merawatku yang nyaris tak bisa bergerak. Semua itu akulah penyebabnya. Kurasakan harga diri dan kepercayaan diriku sebagai lelaki hancur seketika.

Aku tidak lagi bekerja dan biaya perawatan medis yang besar membuat kondisi finansial kami menurun drastis. Kami menjual rumah dan pindah ke rumah sederhana orang tuaku yang sempat ibuku sewakan pada anak teman kantornya. Aku menjalani fisioterapi selama dua tahun. Istriku dengan sabar dan telaten merawatku.

Suatu hari aku benar-benar frustrasi dengan kelemahanku. Aku memintanya pergi agar dia dapat menemukan kebahagiaanya. Usianya yang sudah menginjak kepala empat tidak melunturkan kecantikannya. Dia tidak akan sulit menemukan lelaki yang pantas dan mampu membahagiakannya. Dia tidak merespons pertanyaanku dan terus melakukan kegiatannya : merawatku, bekerja, menerima undangan menjadi narasumber, mengurus rumah. Dari hari ke hari tak pernah kudengar keluhan keluar dari mulutnya. Pelan-pelan kondisiku membaik. Dia menyemangati dan membantuku agar mendapatkan pekerjaan baru.

Aku diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta di bagian pelatihan dan pendidikan. Setelah lolos dari maut dan menjalani perawatan panjang, fisikku tidak lagi sekuat dulu. Namun otakku dan pengetahuanku masih baik. Aku masih bisa mengajar dan menulis sesuai dengan bidangku. Karirku biasa-biasa saja. Berbeda dengan istriku yang semakin banyak dikenal dan dicari orang. Tidak ada yang meragukan dedikasinya terhadap pekerjaannya.

"Aku tidak ingin ada lagi anak-anak yang mengalami kehidupan seperti kehidupan masa kecilku," begitu yang selalu dikatakannya. Betapa berat pengalaman hidupnya dulu. Aku sering memandangi wajahnya saat ia tidur. Aku hanya ingin membahagiakannya, dan aku telah gagal.

Ibuku yang sudah tua menjadi sangat lemah dan mudah sakit-sakitan. Lagi-lagi istriku dengan sabar dan telaten merawat ibuku, dengan tetap mengerjakan rutinitasnya. Kami hanya mampu membayar seorang asisten rumah tangga setengah hari yang bertugas memasak dan menjaga ibuku saat kami aku dan istriku bekerja.

"Tidakkah kamu menyesal menikah denganku? Mengapa kamu masih bertahan?" Entah sudah berapa kali kutanyakan hal ini padanya. Tak sekalipun ia memberikan jawaban. Dia pasti akan pergi atau mengalihkan pembicaraan seolah-olah aku tidak menanyakan apapun.

Ibuku tutup usia dan aku pun sudah pensiun dari kantor tempatku bekerja. Kami sepakat untuk pindah ke kota yang lebih tenang dan menikmati masa tua di sana. Kami menjual rumah di ibu kota dan membangun rumah baru di tempat baru. Pagi itu, istriku meletakan surat yang ditujukan untukku di meja. Aku membaca tulisan tangannya dengan seksama. Jantungku berdegub kencang membaca setiap kalimatnya yang mendeskripsikan perasaan-perasaannya selama hidup denganku. Di paragraf terakhir ia menuliskan,

"...Aku tidak suka kamu selalu menanyakan hal itu. Namun aku akan menjawabnya supaya kamu tidak perlu bertanya terus. Aku tidak meninggalkanmu karena kamu tidak pernah meninggalkanku. Aku tidak menyerah padamu karena kamu tidak pernah menyerah padaku. Lebih dari itu kamu telah memberikanku apa yang tidak pernah aku miliki seumur hidupku. Sebuah keluarga yang bahagia. Bagiku itu sudah berlimpah. Aku tidak membutuhkan hal yang lain lagi."

Di suratnya terlampir foto keluarga yang kami ambil sekitar dua minggu sebelum kecelakaan maut itu. Fotoku bersama ketiga perempuan yang kucintai. Kami memang keluarga yang sangat bahagia. Hatiku terasa ringan. Kucari istriku dengan berlari kecil dan sedikit terpincang karena aku melupakan tongkatku. Sejak kecelakaan itu aku memang menggunakan tongkat untuk membantuku berjalan karena pijakan kaki kananku tidak ajeg. Kulihat dia sedang sibuk mengatur barang-barang yang hendak diberangkatkan oleh kargo. Aku mendekatinya dan memeluknya erat. Begitu eratnya seperti aku tidak ingin melepaskannya, selamanya.

Di kota yang baru, kami mendirikan panti asuhan dan sekolah dasar dengan bantuan sponsor. Istriku menjadi pengelola utama dan masih sering diundang menjadi pembicara dimana-mana. Dulu aku masih sering ikut dengannya pergi ke berbagai tempat hingga ke luar kota untuk mengisi acara, namun sekarang aku sudah tidak mampu. Jadi aku lebih banyak tinggal di rumah atau mengajar anak-anak panti. Kami tidak dikaruniai anak lagi, maka anak-anak inilah yang menjadi anak-anak kami.

"Kita berangkat sekarang, Pak?" tanya salah seorang pegawaiku membuyarkan lamunanku. Aku masih menatap foto pernikahan kami dan tersenyum puas dengan perjalanan hidupku bersamanya. Kuambil tongkatku dan berangkat. Dia sudah menungguku di taman itu, duduk dengan senyuman manis di wajahnya. Istriku memang selalu datang lebih cepat. Dia tidak muda lagi, sudah banyak gurat di wajahnya dan uban di rambutnya. Namun bagiku dia tetap yang paling cantik.

Aku masih mampu bertahan dengan kehilangan anak dan masih bisa menerima kehilangan ibu. Namun aku tidak dapat membayangkan bagaimana jika kehilangannya. Terima kasih telah lahir ke dunia ini dan menjadi istriku. Terima kasih telah menemaniku, memahamiku, dan berjuang bersamaku melewati semuanya. Terima kasih telah menjadi sumber kebahagiaanku.

Selamat hari ulang tahun pernikahan ke 50.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun